KH Najih Said, Guru dan Mubaligh Semua Golongan, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – KH Najih Said dikenal sebagai mubaligh yang disukai semua golongan dan lapisan masyarakat. Kemampuan orasi dan penguasaan bahasa menjadi daya tarik tersendiri bagi audiensnya.
Dia berdakwah di mana saja. Di masjid, sekolah, atau di kampus. Sering pula dia memberi tausiah pada pengajian umum, resepsi pernikahan dan sunatan, serta acara lainnya. Juga berceramah di radio dan televisi. Dia adalah pengisi pengajian rutin di RRI dan TVRI Surabaya.
Saat penulis dipercaya sebagai Kepala Studio Radio Ronggohadi Babat pada tahun 2006-2007, Najih Said menjadi pemateri rutin kuliah Subuh. Pendengar pengajiannya cukup banyak. Mulai dari Babat, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Jombang, hingga Gresik. Tema dakwah yang diangkat selalu aktual.
Sebagai alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, tentu Najih Said sangat menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di samping itu dia juga kemampuan menguasai komunikasi sosial. Hal ini jarang dimiliki oleh mubaligh lainnya.
Di samping itu, materi dakwahnya selalu update atas peristiwa yang sedang berkembang. Untuk membuka wawasan jamaahnya, ia selalu menyelipkan berita nasional maupun internasional yang sedang populer. Dakwa seperti ini sangat diminati masyarakat bawah saat itu.
Kadang dia juga mengkririk sangat tajam. Tapi itu tak membuat jamaahnya tersinggung. Mereka legowo karena Najih Said menyampaikan dengan humor-humor khasnya.
Riwayat Hidup Najih Said
Najih Said lahir di Tuban, 7 April 1953. Anak pasangan Said Abu Amar dan Saodah ini dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban yang punya tradisi salafiah khas Nadhliyin.
Dia menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah at-Tadzibiyah Babat. Kemudian meneruskan ke Pondok Darussalam Gontor dan taman tahun 1972. Dia kakak kelas budayawan Emha Ainun Najdib.
Lulus dari Gontor Najih Said mengadu nasib ke Jakarta. Dia bekerja di Kantor Kedutaan Swedia. Sambil bekerja da melanjutkan kuliah ke IAIN—kini UIN—Syarif Hidayatullah Jakarta.
Najih menikah dengan Emy Rahmawati. Gadis berdarah Sunda kelahiran 18 Agustus 1957 asal Tasikmalaya Jawa Barat. Pernikahan itu berlangsung pada tanggal 17 Januari 1974. Saat itu Najih belum merampungkan kuliahnya.
Setelah menikah Najih diminta pulang ke Babat oleh orangtuanya. Dia pun meninggalkan kuliahnya yang sudah dijalaninya sampai semester III. Najih lalu mengabdi di kampung halamannya dengan menjadi guru dan mubaligh. Karena saat itu, tenaganya sangat dibutuhkan masyarakat Babat dan sekitarnya.
Untuk menyambung hidupnya sehari-hari—selain berprofesi sebagai guru dan mubaligh—dia juga nyambi berwirausaha. Seperti dituturkan oleh putri pertamanya: Erna Sa’adati.
“Papa membuat pabrik jenang (wajik) khas Tasikmalaya dan sekaligus memasarkan ke toko-toko dan kampung sekitar Babat. Bahkan keliling naik sepeda onthel sampai Sumberrejo, Bojonegoro,” ungkapnya pada PWMU.CO, Jumat (16/10/2020)
Sambil jualan jenang, Najih juga berdagang barang barang antik. Ia harus keluar masuk desa mencari barang antik dan dijual ke kota.
“Selain membuat jenang khas Tasikmalaya dan jual beli barang antik ayah juga membuat telur bebek asin. Lalu dijual ke beberapa depot,” jelas Erna Sa’adati yang ditemui di rumahnya di Babat, Rabu (14/10/2020).
Belajar Lagi
Semangat KH Najih Said untuk belajar luar biasa. Meski sudah berkeluarga ia melanjutkan kuliah di Jurusan Bahasa Inggris FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di situ dia memperoleh gelar sarjana muda (BA, Bachelor of Art) dan sarjana S1 bergelar doktorandus (Drs). Dia juga meneruskan kuliah S2 dan S3 di IKIP Negeri (Unesa) Surabaya hingga meraih gelar doktor.
Najih termasuk ulet dalam mengajar dan disukai muridnya. Ia mulai mengajar dari tingkatan sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Menurut Helman Sueb murid dan sekaligus rekan ngajarnya, “Pak Najih Said itu motivator ulung.” Beliau suka memberi motivasi untuk kemajuan sekolah. Siswa didorong untuk giat belajar. Sedangkan guru dimotivasi tidak boleh kendor dalam berjuang,” jelasnya.
Najih Said mengajar di perguruan Muhammadiyah Babat. “Jabatan yang pernah diemban adalah Kepala SD Muhammadiyah 1, Kepala SMP Muhammadyah 1, dan Wakasek SMA Muhammadiyah 1,” kata H Munasir teman sejawatnya sekolah-sekolah tersebut.
Menurut Erna Sa’adati, ayahnya juga menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Selain di Universitas Muhammadiyah urabaya, dia juga mengajar di IKIP PGRI Tuban, Universitas Bhayangkara Surabaya, dan IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Saat menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya Najih Said pernah diberi amanat sebagai Pembantu Rektor III yang saat itu rektornya Noto Adam, jelas Erna Sa’adati,
Najih Said juga diminta mengajar di Pesantren Muhammadiyah Babat, Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Yayasan Patria Babat, dan Pondok Manbaul Ulum, Suci Gresik.
Kelola Kursus Bahasa Inggris
Walaupun sangat sibuk mengajar pagi sampai malam, Nah Said masih menyempatkan mengelola lembaga pendidikan bahasa Inggris bernama Najih English Course.
“Lembaga kursus ini satu-satunya di Babat dan dikenal sampai wilayah Bojonegoro, Cepu, Tuban, Jombang, Gresik, dan Lamongan. Peserta didiknya ratusan,” Jelas Erna Sa’adati, yang juga lulusan Juruan Bahasa Inggris FKIP Universtas Muhammadiyah Surabaya.
Dari pernikahan dengan Emy Rahmawati gadis Sunda, Najih dikaruniai delapan anak. Yaitu Erna Sa’adati, Dicky Sanjaya, Dona Agustina Syarofah, Eva Isye Aprilia, Muhammad Bravo Agustian, Erick Made Widia, Erieca Novieta, dan Dzul Fither Satya Bella Gamma.
Jalan hidup Najih Said tidaklah panjang. Setelah mengalami sakit sejak akhir tahun 2007, beliau dipanggil menghadap Allah pada tanggal 2 November 2012 dalam usia 59 tahun. Insyaallah salah satu tokoh Muhammadiyah ini husnul khatimah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.