Macron, Perlambang Tabiat Islamofobia oleh Reza Maulana Hikam, peminat sejarah alumnus FISIP Universitas Airlangga.
PWMU.CO-Beberapa hari terakhir dunia digegerkan dengan Presiden Perancis Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron yang membela guru membuat peraga karikatur Nabi Muhammad atas dasar kebebasan berekspresi. Apa yang disampaikan Macron menuai kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak, termasuk Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki.
Tampaknya presiden muda, umur 42 tahun, itu masih kurang berpengalaman dan tidak bijak dalam mengeluarkan pernyataan dengan berlindung di balik wajah kebebasan berekspresi.
Perilaku menyebalkan orang Perancis berkenaan dengan Islamofobia berkedok free speech tampaknya sudah ada semenjak abad pertengahan, pasca keruntuhan Kekaisaran Romawi Kuno dan munculnya Kerajaan Franka.
Menurut William Ernest Watson dalam disertasinya The Crescent and the Hammer menyebut, ketika Abdurrahman al-Ghafiqi ekspansi ke wilayah Francia (Prancis), berhadapan dengan Charles Martel, pendiri dinasti Karoling yang menggebuk pasukan muslim di Tours/Poitiers.
Ketegangan ini naik-turun di perbatasan Perancis dan Andalusia, namun di bawah dinasti Karoling dengan Kaisar Romawi Sucinya yang terkenal, Karel Agung, melanjutkan ketegangan dengan pasukan muslim dari kekhalifahan Umayyah.
Hal ini berlainan dengan Otto Agung dari Jerman, yang terlepas pada akhirnya menggunakan ekspedisi militer, namun memulai pembebasan wilayah tersebut dengan menggunakan meja diplomasi terhadap kekhalifahan Umayyah.
Perang Salib
Dapat dilihat bagaimana orang Perancis sebenarnya tidak memiliki pikiran lain selain berkonflik, bahkan dengan tetangganya, Inggris maupun Jerman, Perancis tidak pernah akur. Negara ini yang melakukan ekspansi ke Inggris di bawah William dari Normandia. Dari wilayah Normandia juga lantas ekspansi ke Sisilia. Orang Franka memang memiliki tabiat yang kurang bersahabat terhadap kelompok lain.
Selain itu, ketika Paus Urbanus II memobilisasi massa untuk melakukan perang salib pertama akibat dari permintaan Bizantium untuk mengamankan wilayah kerajaannya karena kekalahan di peperangan Manziker pada tahun 1071.
Dari seruan Paus, banyak bangsawan Perancis menggalang pasukan untuk berangkat dengan tujuan awal membantu Bizantium yang pada akhirnya merebut Yerusalem (Al-Quds). Alwi Alatas dalam bukunya Nuruddin Zanki dan Perang Salib mengatakan, biara Cluny di Perancis yang menggalang massa adalah tempat awal Paus Urbanus II menjadi biarawan Cluny.
Dari biara ini, bangsawan muda Franka berangkat seperti Bohemond yang kelak menguasai Antiokia, Godfrey yang menjadi penguasa pertama kerajaan Latin Yerusalem dan Baldwin I yang melanjutkan tampuk kekuasaan Godfrey di Al-Quds. Terbentuklah empat wilayah kekuasaan Kerajaan Latin Yerusalem: Yerusalem, Edessa, Antiokia, dan Tripoli.
Kejatuhan Yerusalem ini membuat Timur Tengah porak poranda karena kebiasaan orang Perancis untuk melakukan penjarahan dan penyerangan ke wilayah-wilayah Islam. Bahkan mereka memanfaatkan Damaskus yang kala itu dikuasai oleh orang muslim dengan beraliansi bersama penguasanya untuk melemahkan kekuasaan muslim di Suriah.
Namun pasukan Perancis memang terkenal sebagai pasukan yang suka ingkar terhadap perkataannya. Dalam buku Alwi Alatas disebutkan, pasukan salib dari Perancis suka membuat kerusuhan di Suriah, Jazirah Arab, maupun Mesir.
Shalahuddin al Ayubi
Amalric, Raja Yerusalem, berkali-kali berusaha untuk merebut Mesir namun gagal dan memaksa penguasa Mesir di bawah kekhalifahan Fatimiyah untuk membayar upeti kepadanya agar tidak diserang oleh pasukannya. Dari ekspedisi pembebasan Mesir inilah Nuruddin Zanki memberi fondasi naiknya Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi pembebas Al-Quds.
Ketika perang salib ketiga berkecamuk, setidaknya Richard the Lionheart melakukan pembantaian di Akkra atas penduduk yang tidak bersenjata. Dia akhirnya melakukan gencatan senjata dengan Shalahuddin dan kembali tanpa berhasil merebut Al-Quds.
Dalam perjalanan pulang, Richard berseteru dengan Raja Perancis Phillip Augustus atau Phillip II. Perseteruan ini berkelanjutan hingga bermuara pada Perang Seratus Tahun.
Di lain sisi, posisi Yerusalem sebelum dibebaskan oleh Shalahuddin justru diperkeruh oleh Reynauld dari Chatillon yang melakukan pembantaian karavan Islam di jazirah Arab. Reynauld adalah bangsawan muda dari Perancis yang datang ke wilayah Arab. Reynauld mati terbunuh dalam peperangan di Hattin tahun 1187 yang dimenangkan Shalahuddin Al-Ayyubi sebelum pengepungan Al-Quds.
Perancis juga terkenal atas penjajahannya terhadap wilayah Aljazair. Indonesia pun mengenal penguasa atas nama Perancis yang galak dan kejam bernama Herman Willem Daendels yang membangun jalan raya pos Anyer-Panarukan. Daendels bisa berkuasa karena Louis Napoleon menaklukkan Belanda.
Tragedi Charlie Hebdo
Kerusuhan yang dibawa Perancis di dunia tampaknya terus berlanjut hingga sekarang. Kali ini tidak lagi dengan peperangan senjata, tapi dengan perkataan dan gambar. Tragedi Charlie Hebdo pada tahun 2015 menggambarkan bagaimana orang Perancis suka membuat permasalahan.
Orang Perancis rupanya tidak tahu sampai titik mana kebebasan berekspresi dapat ditoleransi. Atau mungkin mereka adalah orang yang sangat egois sehingga melihat dunia hanya dengan kacamata mereka sendiri.
Sampai selama lima tahun kemudian pada 2020 kita dapat melihat seorang presiden bernama Emmanuel Macron memperkeruh suasana kembali lewat pernyataannya yang memusuhi Islam.
Mungkin apa yang dilakukan Inggris dengan menginvasi Perancis pada Perang Seratus Tahun dan invasi Hitler terhadap Perancis ada benarnya. Mungkin Romawi Kuno memang benar-benar berusaha memperadabkan wilayah Gaul, Perancis, yang biadab itu. Nahasnya semua upaya telah gagal. (*)
Editor Sugeng Purwanto