PWMU.CO – PWA Jatim melalui Majelis LLHPB (Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana) mengadakan Webinar Sosialisasi Pengembangan Kurikulum Kebencanaan dalam Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana, Selasa (30/03/2021)
Kegiatan ini dilaksanakan bekerja sama dengan Majelis Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen), Lembaga Kebudayaan, Ikatan Guru Aisyiyah Bustanul Athfal (IGABA), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), PWM Jatim serta UM Surabaya.
Tampil sebagai moderator Yuanita Wulandari S Kep Ns MS dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur dan Ratna Eni Sulistyo Widi dari PWA Jatim Majelis LLHPB sebagai host.
Hadir sebagai narasumber Dr Hj Chandrawaty MPd dari Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) Hening Purwati Parlan MM dari LLHPB
PPA, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya Endah Hendrawati SE MM, Ketua PWA Jatim Hj Dalilah Candrawati MAg, serta Endang Mulyani Putro SPd dari MDMC Jatim sebagai pemantik.
Selain itu hadir juga sebagai peserta dari PWA Jatim, PWA Kaltim, PDA Bengkulu, PW IGABA Jatim, LLHPB Probolinggo, LLHPB Tulungagung, RSUD Suwandi, RSUD Belitung, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, MDMC PWM Jatim, MDMC PDM Se-Jatim, tenaga pendidik dan lembaga pendidikan Aisyiyah Jatim, dosen dan mahasiswa FKIP UM Surabaya, serta partisipan webinar lainnya kurang lebih 341 peserta.
Indonesia Berada dalam Kawasan Ring of Fire
Perwakilan dari MDMC Jatim Endang Mulyani Putro mengatakan, Indonesia berada dalam kawasan ring of fire atau kawasan cincin api pasifik.
“Istilah ini digunakan untuk wilayah yang sering mengalami letusan gunung berapi aktif dan gempa bumi,” katanya.
Dia menuturkan, fenomena ring of fire di Indonesia terjadi akibat letak Indonesia yang secara geologis terdapat dua sirkum pegunungan api (mediterania dan pasifik). Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan letusan gunung berapi, gempa dan tsunami.
“Gunung-gunung berapi di Indonesia termasuk yang paling aktif dalam jajaran gunung berapi pada ring of fire dan terbentuk dalam zona subduksi lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia,” tuturnya.
Selain bencana letusan gunung berapi, dia mengatakan, Indonesia juga mengalami bencana banjir yang terjadi pada musim hujan. Termasuk bencana yang disebabkan makhluk biologi yang terjadi saat ini yaitu Covid-19.
Bencana Bukan Hal Baru
Endang Mulyani mengatakan, rumah adat di berbagai daerah jika dicermati sebenarnya bangunan-bangunan tersebut sengaja didesain oleh nenek moyang kita agar siap menghadapi bencana.
“Bangunan itu dibangun sesuai dengan kondisi di wilayah tersebut. Contohnya rumah adat Aceh didesain untuk menangkal tsunami, rumah adat lombok didesain untuk menahan gempa,” katanya.
Selain itu, dia mengatakan, ada saat-saat tertentu, ketika berada di suatu tempat, penting bagi kita mematuhi aturan yang berlaku di daerah tersebut.
“Misalnya di Parangtritis Jogja, ada aturan dilarang menggunakan pakaian hijau. Meski aturan itu berbau mitos, sebenarnya secara keilmuan kita bisa memahami maksud dari aturan tersebut,” katanya.
Menurutnya, kondisi perairan di pantai tersebut notabene berwarna hijau, sehingga jika (na’udzubillaah) terjadi sesuatu diluar prediksi, orang dengan pakaian hijau cenderung sulit ditemukan karena adanya kesamaan warna yang dominan.
“Hal itulah yang mendasari pendidikan kebencanaan berkearifan lokal. Meski kearifan lokal sangat identik dengan budaya, tetapi sebenarnya yang dimaksud di sini juga meliputi kondisi geologi tiap wilayah yang berbeda,” ucapnya.
Pendidikan Kebencanaan di Satuan PAUD
Dr Hj Chandrawaty MPd, narasumber dari Majelis Dikdasmen PPA menjelaskan, macam-macam bencana ada bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial yang termaktub dalam UU nomor 24 tahun 2007.
“Indonesia memiliki kerentanan sosial terhadap resiko kebencanaan. Maka saya pribadi sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan Aisyiyah Jatim ini,” pujinya.
Chandrawaty mengaku, saking semangatnya, meski jadwal yang dia miliki sangat padat dan siangnya mau ke Semarang, dia tetap menerima tugas sebagai narasumber dalam webinar ini.
Wanita yang selalu menunjukkan semangat di setiap kesempatan ini mengatakan, dirinya akan menyampaikan pada Dikdasmen PP Aisyiyah terkait rencana penyusunan kurikulum kebencanaan di satuan PAUD.
“Karena menurut saya, sejak usia dini, info baik memang harus tersosialisasikan,” ujarnya.
Melalui webinar ini PWA Jatim memang ingin menjalin kerjasama dengan Dikdasmen PP Aisyiyah untuk menyusun kurikulum kebencanaan. Ini merupakan bentuk respon yang cepat menanggapi sosialisasi pemerintah pada tahun 2020.
Menyinggung kondisi Indonesia yang secara hidrometeorologis rentan bencana banjir, angin, kebakaran hutan, gempa bumi, tsunami, letusan gunung, Chandra mengingatkan pentingnya pengenalan mitigasi bencana sejak usia dini sebagaimana di negeri Jepang.
Dia juga menunjukkan video murid-murid di Miyagi Jepang belajar mitigasi bencana sambil bermain.
“Pengenalan mitigasi bencana ini penting agar anak-anak tahu apa yang harus dilakukan sebelum dan sesudah bencana,” jelas Chandra.
Dalam video tersebut ditampilkan berbagai macam alat peraga untuk membantu jalannya mitigasi. Hal ini menunjukkan, mitigasi merupakan hasil kolaborasi antara akademisi dan seniman.
Menciptakan Sekolah SPAB dan Green School
Tujuan diadakannya webinar ini adalah untuk mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dengan cara menyampaikan pesan pentingnya SPAB, peran komite sekolah, peserta didik, penguatan para tenaga pendidik untuk memahami kondisi psikologi anak didik pasca bencana.
Narasumber dari LLHPB PPA Hening Purwati Parlan MM mengutip surat Ar ruum ayat 41 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dia pun mengajak para peserta webinar untuk bekerjasama menyukseskan program green Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Menurutnya, Muhammadiyah dan Aisyiyah sejak awal berdirinya sudah menunjukkan kepedulian pada masalah kebencanaan.
“Maka saya yakin bahwa yang kita lakukan saat ini adalah bagian dari jihad bersama dengan cara membuat “jembatan” menuju keberlangsungan hidup yang lebih baik,” tutur wanita kelahiran 1972 tersebut.
Karena nilai-nilai lingkungan menurutnya bukan sekedar kata-kata, namun perlu perjuangan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Penanggulangan bencana adalah urusan semua orang. Maka tepat jika masalah kebencanaan tidak hanya dibahas di lingkup global tapi juga harus diteruskan hingga lini terbawah. Semua orang memiliki hak untuk mendapat penanganan kebencanaan,” tutur Hening.
Dari hasil penelitian, dia mengatakan, ada 46.468 sekolah terdampak bencana dalam 15 tahun terakhir. Dan sampai tahun 2021 masih kurang dari sepuluh persen yang sudah bekerja untuk isu-isu kebencanaan.
“Ini menunjukkan pentingnya peran guru, siswa, tetangga sekolah dan keluarga untuk ikut peduli,” ucapnya.
Contoh Sekolah Green School
SPAB menurutnya perlu disusun bukan hanya karena faktor bencana alam, tetapi juga faktor ketidakmampuan dalam mengurus lingkungan.
“Contoh sekolah yang baik adalah sekolah yang menggunakan tenaga surya. Sedangkan contoh hal yang bisa membahayakan, misalnya sekolah yang dicat. Bisa jadi anak-anak bermain dengan tembok sekolah lalu ada cat yang tidak sengaja masuk ke kuku. Maka bisa saja zat tidak baik yang terkandung di cat tersebut memberi efek buruk pada anak meski mungkin tidak langsung,” terangnya.
Dia pun menyarankan kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk mau mengintegrasikan green school dan SPAB.
“Saya yakin, jika kita bekerja dengan baik pada isu lingkungan, maka jangka panjang itu akan sangat bermanfaat dalam pencegahan serta penanggulangan bencana,” tandas Hening. (*)
Kontributor Yunia Zahrotin Nisa’ Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni