Serasa Diberi Kesempatan Hidup Kedua, oleh Sulistyo Budi, konsultan dan pelaku UMKM serta tinggal di Pare, Kediri.
PWMU.CO – Hari Raya Idul Fitri 2010, bagi keluarga kami adalah Lebaran yang tidak akan terlupakan. Betapa tidak, pada Lebaran itu, kami mengalami kecelakaan lalu-lintas dalam perjalanan mudik ke Kebumen.
Kecelakannya cukup parah. Hanya karena pertolongan Allah-lah kami terhindar dari akibat yang fatal. Rasanya, kami seperti diberi kesempatan untuk hidup kedua kalinya.
Lebaran tahun 2010 terasa cukup istimewa. Inilah untuk kali pertama saya diizinkan oleh bapak mertua, H. Nahfudi (almarhum), membawa mobil Carry-nya untuk mudik. Pada Lebaran sebelum-sebelumnya kami selalu diantar oleh Pak Antok, seorang sahabat yang memang berprofesi sebagai pengemudi.
Bersyukur kami saat itu masih dikaruniai orangtua yang lengkap, romo biyung HM Dahlan dan Hj Kamsiyah di Kebumen, serta Bapak Ibu HM Nahfudi dan Hj Munahayah di Pare. Oleh karena itu kami berkomitmen untuk bisa selalu hadir dan sungkem di tiap Lebaran, apapun kondisinya.
Sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis di keluarga kecil kami, guna memenuhi niat baik itu, maka hari pertama Lebaran dipergilirkan. Kalau tahun ini di Pare, maka Lebaran pertama tahun depan di Kebumen, begitu seterusnya.
Tahun 2010 giliran kami lebaran di Kebumen. Oleh karenanya kami sekeluarga menyiapkan dengan matang rencana mudiknya.
Ajak Saudara
Pulang kampung dengan membawa mobil sendiri, membuat saya bersemangat mengajak saudara sekampung yang tinggal di Papar, yang berjarak 16 Km dari Pare. untuk bisa mudik bersama. Saudara sekampung itu, keluarga Mbak Sri, demikian kami biasa memanggilnya.
Gayung pun bersambut, ternyata mereka sangat senang dan mau mudik bersama. Keluarga Mbak Sri ada empat orang, yaitu Mbak Sri dan ketiga putra-putrinya. Sedangkan saya ada lma orang, saya, istri dan tiga anak.
Jadilah mobil Carry yang normalnya berkapasitas enam penumpang, saya isi semblan penumpang. Untuk kenyamanan perjalanan maka mobil saya persiapkan dengan sedikit modifikasi, semua kursi di belakang jok depan saya lepas, diganti dengan gelaran tikar sehingga kabin mobil terasa lebih luas.
Bakda Shalat Ied
Hari kemenangan pun tiba. Kami sekeluarga shalat Iedul Fitri di masjid dekat rumah. Selesai shalat Ied, kami sungkem ke orangtua dan dilanjutkan silaturrahim keliling tetangga untuk halal bil halal. Setelah dirasa cukup, kami bersiap-siap untuk mudik ke Kebumen.
Semua yang telah disiapkan jauh-jauh hari, sudah masuk ke mobil. Berpamitan kedua orangtua pun usai ditunaikan. Waktunya berangkat. Saya pegang kemudi, istri dan anak ketiga yang masih usia dua tahun duduk di depan samping kemudi, sementara dua anak saya yang usia 11 dan tujuh tahun lesehan di kabin belakang.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 ketika kami meninggalkan rumah. Dari Pare, kami menuju Papar – rumah saudara yang akan mudik bersama. Sampai di Papar, mereka sudah siap. Maka, tidak menunggu lama merekapun lalu bergabung dengan dua anak saya, lesehan di kabin mobil belakang. Sejurus kemudian, kami-pun melanjutkan perjalan menuju Kebumen.
Terganggu Kemacetan
Perjalanan mudik dengan rombongan besar sungguh sangat menyenangkan. Terbayang suasana Lebaran di kampung. Rekreasi di Pantai Selatan yang asri, berteduh di bawah warung semi permanen yang berjajar rapi, dengan tiupan angin laut sepoi-sepoi. Menikmati kacang rebus plus lontong pecel dengan undur-undur serta mendoan khas Kebumen sebagai lauknya, sungguh nikmat yang tiada tara. Begitu jelas tergambar di mata, seolah sudah ada di dunia nyata.
Bayangan indah suasana Lebaran tiba-tiba ambyar, ketika mobil Carry yang saya dan rombongan tumpangi terhenti karena macet. Memasuki daerah Guyangan, Nganjuk, volume kendaran di jalur utama sangat pandat sehingga menimbulkan kemacetan yang sangat parah. Banyaknya petugas kepolisian dari Polres Nganjuk dan relawan tidak bisa mengurai kemacetan.
Lebih dari dua jam kami terjebak kemacetan. Terik matahari semakin menambah tidak nyamannya perjalanan. Sekitar pukul 14.00, kami baru bisa keluar dari kemacetan. Oleh karena sudah masuk Dhuhur, maka kami putuskan istirahat sejenak sambil makan siang dan dilanjutkan dengan menunaikan shalat Dhuhur dijamak dengan Ashar.
Di Luar Perkiraan
Setelah dirasa cukup, kami lanjutkan perjalanan. Suasana hari pertama Lebaran benar-benar sangat ramai, banyak orang yang keluar rumah untuk bersilaturahim, sehingga jalanan terasa begitu padat. Tidak jarang terdengar celotehan protes dari anak-anak dan tangisan dari si kecil yang merasa tidak nyaman. Perjalanan menjadi terasa sangat panjang dan membosankan.
Sayup-sayup terdengar suara adzan. Jarum jam menunjukan pukul 19.30, ketika kami memasukan Kota Klaten. Ini artinya, kami memerlukan waktu lebih dari 9 jam untuk menempuh jarak yang di hari normal bisa kami tempuh dalam waktu 5–6 jam. Penat dan lelah begitu terasa di badan. Kami putuskan istirahat, sekalian menunaikan shalat Maghrib dan Isya dijamak dilanjut dengan makan malam.
Usai istirahat, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Saya intip lagi jam yang melingkar di pergelangan tangan, angkanya menunjukan 20.30. Masih dibutuhkan waktu 3–4 jam lagi untuk sampai tujuan akhir.
Jujur, saya sempat shok dan kaget, ternyata hari sudah semakin malam. Ini di luar perkiraan dan harapan saya, harusnya saat ini kami sudah sampai di Kebumen dan bercengkrama dengan keluarga. Konsentrasi mengemudi terganggu. Rasa cemas, gelisah dan khawatir akan terjadi sesuatu dalam perjalanan, tiba-tiba muncul.
Meski hati ini tidak tenang, cemas dan khawatir harus saya sisihkan agar perjalanan bisa dilanjutkan. Setelah semua penumpang masuk, mesin mobil dihidupkan, saya kembali duduk di belakang kemudi.
Jalanan sudah semakin sepi. Laju kendaraan yang kami naiki menjadi lebih leluasa dan bisa dipacu lebih kencang lagi.
Kantuk Itu
Kenyang setelah makan malam ternyata mendatangkan masalah baru. Rasa kantuk mulai menghampiri hampir semua penumpang, termasuk saya. Laju kendaraan menjadi tidak stabil, kadang zigzag ke kanan dan ke kiri. Istri yang duduk di samping saya beberapa kali mengingatkan, demikian juga Mbak Sri yang duduk di kabin belakang.
Khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan, sesuai saran istri kami putuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk istirahat kembali. Mampir ke toko swalayan modern yang sudah mulai menjamur di sepanjang perjalanan menjadi pilihan. Sambil menunggu istri dan anak-anak turun mencari camilan untuk ngemil di perjalanan, saya manfaatkan untuk istirahat sejenak. Saya rebahan, tetap di posisi pengemudi, untuk sekitar 10–20 menit.
Saat istirahat dirasa sudah cukup, kami lanjutkan lagi perjalanan. Jarum jam berada di angka 21.30. Kecepatan kendaraan saya pacu agak kencang, di level 80 km/jam. Kondisi jalan semakin sepi. Penghuni rumah-rumah di kanan-kiri di sepanjang perjalanan tampak sudah beristirahat.
Suasana di dalam mobil cukup hening. Hari yang semakin larut serta kepenatan menjadi penyebab hampir semua penumpang tertidur di tempatnya masing-masing.
Lima belas menit kendaraan melaju. Sayapun mulai diserang rasa kantuk. Makin lama makin menjadi. Oleh karena mata ini sudah tidak bisa diajak kompromi, maka saya putuskan untuk menepi kembali dan berhenti di pinggir jalan untuk istirahat.
Saat di Mirit
Menepi untuk berhenti terjadi lebih dari lima kali. Terakhir, saya memarkir kendaraan di pinggir jalan depan sebuah sekolah di jalur selatan Bantul–Kebumen, masuk wilayah Kabupaten Purworejo. Badan ini rasanya begitu lelah, hingga membuat saya terlelap hampir 30 menit, masih di posisi pengemudi.
Waktu menunjukkan pukul 23.45 ketika saya terjaga dari tidur. Saya tengok ke kiri, istri tercinta sedang pulas tertidur. Di atas pangkuannya, si kecil Aim juga turut terlelap. Posisinya, dalam pelukan sang bunda. Di kabin belakang, si sulung Aas dan adiknya, Afa, juga terlelap. Sementara Mbak Sri nampak terjaga dan terlihat agak gelisah, sambil menjaga ketiga putra-putrinya yang juga tertidur.
“Mbak Sri, kita lanjutkan perjalanan ya, semoga lancar dan cepat sampai. Tolong diingatkan kalau saya mengantuk lagi,” kata saya memecah keheningan.
“Ya, Om. Pelan-pelang dan hati-hati, bismillah,” demikian respon Mbak Sri.
Kendaraan saya pacu dengan kecepatan yang sedang, kira-kira 60 km/jam. Badan yang lebih segar, dengan jalan yang lumayan lebar, mulus serta suasana yang sepi, menjadikan mobil bisa melaju dengan nyaman. Sesekali Mbak Sri mengajak berbicara saya. Itulah cara dia mengingatkan sekaligus memastikan, bahwa saya tidak mengantuk dan tetap berkonsentrasi dalam mengemudi.
Memasuki wilayah Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen, jalan mulai menyempit dan rusak, berlobang di sana sini. Jarum jam menunjuka angka 24.05. Cuaca yang dingin disertai dengan hujan gerimis, membuat rasa kantuk menghampiri lagi.
Merasa tempat tujuan sudah dekat, maka saya terus memacu kendaraan meski kantuk terus menyerang. Akibatnya, kendaraan tidak berjalan dengan tenang. Mengetahui laju mobil yang tidak stabil, berjalan zigzag ke kanan dan ke kiri, membuat Mbak Sri cemas.
“Om Budi mengantuk lagi kah,” tanya Mbak Sri.
“Bukan mengantuk lagi, Mbak. Tidur, ini,” jawab saya.
“Tidak istirahat lagi saja-kah Om, biar rasa kantuknya hilang,” usul Mbak Sri dengan suara agak keras.
Saya tidak sempat merespon saran Mbak Sri. Saya pacu laju kendaraan dalam keadaan “tertidur”. Mobil berjalan tanpa kendali. Kaki terus menginjak pedal gas semakin kuat.
Di kabin belakang Mbak Sri membangunkan putri pertamanya. Suasana semakin mencekam. Beberapa kali Mbak Sri sempat berteriak, sambil menyebut, “Ya Allah, Ya Allah!”
Mbak Sri mengingatkan saya untuk berhenti saja, tapi saya sepertinya sudah benar-benar tertidur dan tidak mendengar sama sekali. Kendaraan terus melaju zig-zag dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Tiba-tiba mobil berbelok ke arah kanan, menyeberang jalan, masuk ke pekarangan, menerabas pagar tanaman dan beberapa pohon kecil. Mobil masih terus melaju karena secara tidak sadar kaki saya masih menginjak gas mobil, bahkan semakin kuat. Laju mobil baru berhenti ketika terjadi benturan keras. Mobil menabrak pohon melinjo yang cukup besar.
Berat tapi Selamat
Kecelakan itu cukup parah. Akibatnya, kaca dan dasboard mobil hancur, pintu mobil dekat sopir patah, serta ban depan sebelah kanan terdesak ke dalam dan tidak bisa digerakkan.
Begitu mobil terhenti, saya baru sadar dan terbangun. Suara mesin mobil masih menderu cukup keras, pertanda kaki masih menginjak pedal gas. Sadar telah terjadi kecelakaan, maka saya cek seluruh penumpang. Alhamdulillah, istri di samping masih terlihat duduk dengan kondisi yang agak melorot (miring). Si kecil yang tadinya di pangkuan ibunya, tidak terlihat. Ternyata dia terjatuh, ada di di bawah dashboard. Alhamdulillah kondisinya cukup baik. Dia menangis karena kaget.
Mbak Sri dan anak-anak yang tidur di kabin belakang pun semua dalam kondisi baik. Ada luka memar akibat benturan, tapi tidak begitu parah. Sayapun yang berada di depan, alhamdulillah, cukup baik. Tidak ada luka yang serius pada saya. Di betis, memang muncul benjolan akibat benturan dengan badan mobil.
Setelah semua dipastikan dalam kondisi baik, saya minta semua untuk segera keluar dari mobil. Hal itu, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya percikan api.
Dengan dibantu oleh masyarakat yang sudah banyak berkerumun di sekitar lokasi, proses evakuasi berjalan cepat. Kami dibawa ke rumah penduduk yang terdekat dengan lokasi kecelakaan.
Kabar kecelakaan kami sampaikan ke keluarga di kampung. Setengah jam kemudian kami sudah dijemput dan dibawa pulang. Sesampai di rumah, setelah bersalaman dengan seluruh kerabat yang sudah pada menunggu, saya dan istri segera mengambil air wudhu dan menunaikan shalat malam.
Bersujud, Merenung
Usai shalat, kami berdua lakukan sujud syukur dan berdoa. Air mata tangis kebahagiaan penuh haru tidak bisa kami bendung, mencucur begitu derasnya. Bersyukur karena Allah telah selamatkan kami sekeluarga dari kecelakaan maut.
Bersyukur karena Allah seperti telah memberikan kesempatan kepada kami untuk hidup kedua kalinya. Betapa tidak, seandainya Allah takdirkan kami kecelakaan dengan masuk ke sungai Mirit yang lebar dan dalam, yang sempat kami lintasi sebelum kecelakaan terjadi, sudah pasti akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Kami bersyukur tiada terhingga karena tidak ada korban yang parah apalagi meninggal dunia. Allah takdirkan kami mengalami kecelakan dengan masuk ke pekarangan dan menabrak pohon melinjo yang besar. Seandainya kecelakaan terjadi dengan cara bertabrakan langsung dengan kendaraan lain yang berlawanan arah atau menabrak kendaraan besar (truk) yang biasanya parkir di pinggir jalan, tentu akan lain lagi ceritanya.
Selang beberapa waktu setelah kecelakan terjadi, saya coba merenung dan bertanya dalam hati, apa gerangan yang menjadikan Allah SWT menyelamatkan kami dari kecelakaan maut tersebut. Apakah ada amalan yang kira-kira bisa membuat kami terhindar dari ujian yang lebih berat?
Sampai tulisan ini saya buat, saya belum menemukan jawaban yang pasti karena itu bagian rahasia Allah. Namun, ada beberapa peristiwa yang mungkin saja bisa menjadi jawaban atas renungan tersebut.
Memudahkan Urusan Orang
Pertama, saya spontan meminjamkan mobil Carry ke salah seorang ustadz yang akan mengantar keluarganya pulang kampung ke Lamongan. Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah kegiatan iKtikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Kisahnya, sehabis shalat Dhuhur. Kala itu, saya dengan beberapa sahabat peserta iKtikaf di Masjid An-Nur Pare sedang berbincang-bincang ringan. Tidak jauh dari tempat kami, ada seorang ustadz yang tampak sedang gelisah. Ustadz Nawawi, nama beliau.
“Maaf Ustadz, sepertinya kok kelihatan kebingungan. Adakah masalah yang sedang dipikirkan,” tanya saya sambil mendekati beliau.
“Iya Pak Budi. Ini saya sedang bingung. Besok saya diminta menjadi imam dan khAtib Idul Fitri di Pare, tapi istri dan anak-anak ingin shalat Ied di Lamongan,” jawab beliau.
“Akan saya antar pakai motor tidak mungkin. Selain jauh, mbonceng istri dan tiga anak yang sudah besar pasti sangat beresiko,” kata Ustadz Nawawi.
Mendengar penjelasan itu, tanpa berPikir panjang saya langsung memberi saran. Saya beri solusi.
“Sudah, pakai mobil Carry mertua saya saja, nanti biar disopiri Pak Antok,” kata saya.
“Benarkah ini Pak Budi. Tidak merepotkankah,” tanya Ustadz Nawawi (beliau tampak setengah ragu-ragu dan seperti tidak percaya atas jalan keluar yang begitu cepat itu).
“Ya, benar. InsyaAllah tidak merepotkan. Sila mobil Ustadz pakai. Hal yang penting, Ustadz bisa segera mendapatkan solusinya. Istri dan anak-anak Ustadz segera sampai di Lamongan dan besok Ustadz tetap bisa menjadi imam dan khotib shalat Ied dengan tenang,” kata saya.
Saya terus meyakinkan terkait tawaran saya. Saya berusaha memupus keraguan di diri Ustadz Nawawi.
“Kapan Ustadz dan keluarga berangkat, nanti Pak Antok saya beri tahu,” tegas saya.
“Insya-Allah besok sore sehabis shalat ashar. Sebelumnya, terima kasih banyak Pak Budi. Semoga Allah membalas kebaikan Pak Budi dengan balasan yang terbaik dan berlipat,” ujar Ustadz Nawawi dengan wajah yang ceria.
“Amin yaa rabbal alamin,” demikian saya mengamini.
Besok sorenya sesuai dengan rencana, Ustadz Nawawi bisa menghantarkan keluarganya pulang kampung ke Lamongan dengan mobil Carry milik mertua saya. Keluarga itu diantar Pak Antok. Sungguh, meski nilainya tidak seberapa, bahagia dan senang kami bisa membantu meringankan beban saudara seiman.
Mungkinkah dengan sebab ini, Allah membayar tunai setetes kebaikan yang tidak seberapa sekaligus mengabulkan doa Ustadz Nawawi itu? Wallahu a’lam bishawab.
Membuat Senang Orang
Kedua, saya menawari saudara untuk ikut pulang kampung bersama. Seperti yang telah tersampaikan di atas, begitu saya diberi izin oleh bapak mertua untuk mudik ke Kebumen memakai mobil Carry milik beliau, maka saat itu muncul keinginan untuk mengajak ikut pulang kampung keluarga Mbak Sri, yang berdomisili di Papar.
Kala itu, hal utama yang menjadi pertimbangan adalah ingin membantu keluarga beliau agar bisa bertemu lebih cepat dengan suaminya yang sehari-hari tinggal di Tangerang. Hal ini, karena di momen lebaran ini, ada informasi bahwa suami Mbak Sri akan pulang dan berlebaran di Kebumen terlebih dulu. Setelah itu, baru pulang dan bertemu keluarga di Papar.
Gayung bersambut, keluarga Mbak Sri sangat senang, berbahagia dan berterima kasih mendapat tawaran itu. Sayapun senang dan bahagia bisa sedikit meringankan beban saudara. Sekali lagi, telah diceritakan di atas, akhirnya kami bisa mudik bersama menggunakan mobil Carry tua keluaran tahun 1991.
Mungkinkah dengan sebab ini pula, Allah membayar cepat dan lunas sedikit kebaikan yang saya lakukan sehingga kami sekeluarga terhindar dari maut akibat kecelakan lalu-lintas itu ? Wallahu a’lam bishowab.
Dua Pelajaran
Dari peristiwa ini, saya mendapatkan beberapa hikmah dan pelajaran penting. Pertama, jangan lawan rasa kantuk ketika mengemudi apapun alasannya. Begitu rasa kantuk datang ketika sedang mengemudi, segeralah beristirahat. Menepi dan carilah tempat yang aman dan nyaman, turun dari mobil regangkan persedian, kalau perlu baringkan tubuh barang 10–15 menit untuk menghilangkan kantuk. Hal ini, karena rasa kantuk yang dilawan dengan tetap mengemudi, sungguh sangat berbahaya.
Kedua—dan ini yang utama—janganlah pelit untuk berbuat baik, sekecil apapun nilai kebaikan itu. Hal ini, karena sesungguhnya kebaikan yang kita lakukan pada hakikatnya akan kembali kepada diri kita sendiri. “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri” (al-Isra 7). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni