Rumah Nomor 54 Hadiah untuk Ibu, ditulis oleh Nisa Rachmah Nur Anganthi, dosen Universitas Muhammadiyah Solo.
PWMU.CO – Setiap kali kulangkahkan kaki ke luar rumah, kutatap wajah rumah di depanku. Ada desiran hati yang tak bisa kutahan. Sungguh, aku merasa, rumah di depanku seperti melambaikan tangannya dan mengajak aku untuk memasukinya. Namun aku sadar, rumah di depanku masih berpenghuni. Sebuah keluarga besar dari luar Jawa menyewa rumah itu. Seorang janda dengan 5 anak lelakinya yang sudah dewasa, tetapi semua masih belum bekerja.
Seringkali kudengar, Bu Janda (sebut saja begitu) berteriak-teriak mengomeli anak-anaknya. Bu Janda ingin anak-anak lelakinya mau berikhtiar untuk bekerja. Namun mereka lebih banyak berdiam diri di rumah dan tidur sampai siang. Sungguh, meski aku tidak berniat menguping namun selalu terdengar teriakan-teriakan Bu Janda terhadap anak-anaknya. Aku yakin bahwa tetangga-tetangga lain di perumahanku juga mendengar teriakan-teriakan Bu Janda.
“Misteri” Itu
Rumah keluarga Bu Janda dengan rumahku (lebih tepat, rumah kakakku yang kutempati) berhadap-hadapan. Mereka lebih dahulu menghuni di perumahan daripada keluargaku. Jadi, apabila beliau berbicara dengan keras terhadap anak-anaknya maka tentu saja aku dan keluarga di rumah dengan cepat mampu menangkap pesan-pesan yang dikomunikasikannya.
Aku mulai menikmati percakapan-percakapan keluarga Bu Janda. Namun, jangan salah sangka. Aku tidak menguping, tetapi secara otomatis langsung masuk ke telingaku. Semua percakapan dan obrolan Bu Janda dengan anak-anaknya mudah kami terima, tanpa sensor. Mulanya risih juga, tetapi karena sudah menjadi makanan sehari-hari, lama kelamaan akhirnya kuabaikan saja.
Suatu saat, sepulang kerja, aku melihat keriuhan di rumah Bu Janda. Banyak barang-barang dikumpulkan dan dimasukkan dalam kardus-kardus. Sepertinya mereka beres-beres dan mengumpulkan barang-barang di depan rumah. Tak berapa lama, datang mobil truk mini pangangkut barang. Kemudian semua barang-barang diangkat ke truk mini. Aku kaget. Sepertinya Bu Janda dan keluarga akan berpindah rumah.
Kulangkahkan kaki menuju rumahku. Terdengar suara panggilan dari depan rumah, “Bu Nisa”.
Aku menoleh ke depan rumah. Bu Janda menghampiriku.
“Bu Nisa, aku mau pamit ya. Aku mau pindah rumah. Aku tidak nyaman berada di perumahan ini. Tetangga-tetangga pada usil, sok mengurusi rumah tangga orang lain. Aku dan anak-anak diprotes. Katanya suara kami mengganggu ketenteraman tetangga. Padahal kami biasa saja lho. Betul kan Bu Nisa,” kata Bu Janda setengah bertanya.
Aku belum sempat menjawab, Bu Janda sudah mengulurkan tangannya untuk berpamitan. Aku tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya mengiyakan dan mendoakan. Mudah-mudahan dengan kepindahannya, beliau sekeluarga dapat lebih diterima oleh lingkungan baru mereka. Aku juga belum sempat menanyakan, kemana beliau sekeluarga hendak pindah rumah.
Mungkinkah untukku?
Kembali kupandangi rumah bekas Bu Janda. Sekarang tidak berpenghuni. Aku kembali menengok rumah kosong di depanku. Kembali desiran hati muncul lagi. Rumah itu seperti melambai-lambaikan tangan kembali, menyapaku untuk bertamu dan mengunjunginya. Namun, setiap kali pula, aku hanya dapat memandangi dengan desiran hati yang kian kuat. Mengapa aku senang melihatmu? Terbersit dalam hati dan pikiranku, seandainya rumah itu menjadi milikku, hm … hm … hm ….
Aku langsung menepis pikiranku. Waduh, aku masih baru saja berkeluarga, mau membeli rumah? Rasa-rasanya masih menjadi mimpi, pikirku.
Pagi ini seperti biasa aku hendak berangkat ke kantor. Kembali kupandangi rumah di depanku. Aku teringat pada rumah kakakku yang sekarang kudiami. Penjualnya menyampaikan bahwa perumahan di tempatku memiliki dua tipe rumah, yaitu rumah kecil dan besar. Rumah yang kutinggali adalah rumah kecil, yang luasnya 100 M2. Sedangkan rumah di depanku adalah rumah besar, yang luasnya 150 M2. Meskipun demikian, keduanya sama-sama sederhana dan masih bangunan asli seperti saat kali pertama dibangun. Kupandangi sekali lagi rumah depanku, berdesir kembali hatiku. Sudah ah, aku mau bekerja dulu.
Sore hari, saat tiba kembali di rumah. Aku terkaget-kaget lagi. Rumah depanku sudah berpenghuni kembali. Kali ini, semakin riuh dan ramai. Banyak anak-anak muda berdatangan. Lho, siapa mereka. Kulangkahkan kakiku masuk rumah, sambil tak lupa kembali kutengok rumah depanku. Nampaknya rumah depanku tak pernah sepi dari penyewa.
Rahasia Itu
Rumah depanku dimiliki seorang mantan direktur bank pemerintah yang tak pernah didiami, karena rumahnya sudah cukup banyak. Namun demikian, mereka tidak pernah berniat untuk menjualnya, karena rumah tersebut diniatkan untuk investasi di hari tua. Demikian informasi dari tetangga-tetangga yang mengetahui sejarah rumah tersebut.
Selain itu yang menarik adalah, rumah tersebut tak pernah sepi dari penyewa. Selain selalu berganti, rumah tersebut biasanya juga tidak lama disewa penghuninya.
Keingintahuanku tentang rumah depan dengan pemiliknya semakin kuat dalam diriku. Akhirnya, suatu saat aku bersilaturahim ke tetangga sebelah rumahku. Beliau yang tinggal paling lama di RT tempat kami berdiam, sehingga dianggap sebagai tetua di perumahan. Oleh karena itu kami menganggap siapapun yang tinggal di RT kami, beliau tahu semua riwayatnya. Dengan demikian tidak salah apabila aku berniat mengobrol dengan beliau tentang pemilik rumah depan yang bernomor 54 itu.
Dari hasil kunjunganku ke tetangga sebelah, kuperoleh informasi tentang pemilik rumah nomor 54 dan rumahnya. Beliau bercerita bahwa sudah banyak orang yang menanyakan tentang rumah tersebut. Banyak yang bermaksud membeli atau menyewa, karena rumah tersebut sangat disukai oleh banyak orang. Sehingga sampai saat ini belum pernah rumah tersebut kosong tidak berpenghuni dalam waktu lebih dari 3 hari. Jadi selalu menarik minat banyak orang untuk menjadi penghuninya. Meskipun demikian, semua penghuni yang menyewa tidak pernah bertahan lama.
Beliau juga bercerita bahwa dia sebenarnya juga berminat untuk membeli sebagai investasi. Namun oleh pemiliknya dijawab bahwa rumah tersebut tidak pernah diniatkan untuk dijual atau dipindahtangankan. Siapapun yang berniat membeli, akan kecewa dan pulang dengan tangan hampa. Hal ini sudah sering terjadi. Berapapun mau dibayar oleh calon pembeli, pemilik tidak pernah melepaskannya. Beliau juga sudah pernah mengalaminya. Jadi menurut beliau kalau aku berminatpun akan mengalami perlakuan yang sama.
Beliau, tetangga sebelah itu, kemudian menyerahkan secarik kertas berisi catatan nama dan nomor kontak pemilik rumah nomor 54. Kemudian, beliau memintaku untuk membuktikan apa yang beliau sampaikan.
Tanpa berniat mengabaikan apa yang disampaikan oleh beliau, aku terima secarik kertas yang berisi nama dan nomor kontak pemilik rumah nomor 54. Aku ucapkan terimakasih dan aku berangsur meminta diri untuk melanjutkan pekerjaan rumah kembali.
Sesampai di rumah, aku membaca catatan di kertas tersebut. Berdesir kembali hati ini, entah mengapa. Setiap kali memikirkan rumah depan bernomor 54, hatiku selalu bergetar. Apakah rumah tersebut mau berjodoh denganku? Namun rasanya tidak mungkin, mengingat sudah banyak pengalaman disampaikan oleh tetanggaku, bahwa semua permintaan akan ditolak mentah-mentah oleh pemiliknya.
Pintu Silaturrahim
Suatu saat, di sebuah Ahad pagi, aku bermaksud shalat sunnah Dhuha. Namun hati ini teringat pada secarik kertas dengan nama dan kontak pemiliki rumah nomor 54. Aku jadi menunda shalatku. Tak lama aku menimbang-nimbang, akhirnya secarik kertas tersebut kuambil dan kuletakkan di sebelah sajadah di sampingku.
Setelah selesai shalat, muncul keinginan yang kuat untuk mengontak si pemilik rumah. Akhirnya, dengan tanpa bermaksud apa-apa, aku menelpon sang pemilik rumah nomor 54. Aku hanya bermaksud memperkenalkan diri, sebagai tetangga baru yang tinggal di depan rumahnya.
Singkat cerita, si pemilik rumah menawarkan aku dan suami untuk berkunjung dan silaturahim ke rumah beliau. Aku menyanggupi dan bermaksud datang berkunjung pada Ahad depan.
Bersama suami, akhirnya aku berkunjung ke rumah beliau. Meskipun sudah tua, beliau nampak sehat dan bugar, serta hanya tinggal bersama istri dan pembantu rumahnya. Beliau banyak bercerita tentang kondisi keluarganya dan sejarah membeli rumah nomor 54 itu. Selanjutnya beliau juga menyampaikan bahwa rumah tersebut tidak akan pernah dijual selamanya, karena kecintaannya pada rumah tersebut. Wah, betul juga cerita tetangga sebelah. Dengan tersenyum aku mengiyakan sambil bergurau.
“Bapak percaya apa tidak, Pak, kalau rumah atau tanah itu berjodoh-jodohan. Maksud saya, apabila sebuah rumah atau tanah itu sudah berjodoh, ya tidak kemana-mana. Nanti pada saat yang tepat akan menjadi milik jodohnya,” candaku.
Beliau menyatakan setuju sekali dengan pernyataanku. Beliau juga menyatakan bahwa semua tanah dan rumah yang dimilikinya juga begitu, berjodoh dengan dirinya.
Dengan sedikit bergurau, aku menimpali pernyataan beliau: “Wah Pak, siapa tahu rumah Bapak yang nomor 54 itu, berjodoh dengan saya ya Pak. Bapak jangan lupa ya, kalau Bapak berminat mencarikan jodoh bagi rumah Bapak, nanti saya dikabari pertama ya Pak.”
Beliau tersenyum, malah terkekeh, dan dijawabnya: iya! Bahwa, nanti akan dicarikan jodoh untuk rumah nomor 54 miliknya.
Setelah beberapa saat bersilaturahim, kami pamit pulang. Alhamdulillah!
Niat untuk Hadiah
Sejak kepulangan dari berkunjung ke pemilik rumah nomor 54, semakin kuat hasratku untuk memiliki rumah tersebut. Entah mengapa, perasaan saya seperti itu.
Sejak itu, sehabis shalat Dhuha aku semakin sering merenung dan memikirkan rumah nomor 54 beserta pemiliknya. Kemudian timbul dalam pikiran saya. Bagaimana kalau rumah tersebut menjadi milikku? Bagaimana kalau kuhadiahkan bagi bundaku yang sudah tua dan sendirian tinggal di rumah dinas almarhum ayahanda saya?
Kami-aku sekeluarga-rasanya cukup dengan rumah yang kami tinggali ini saja. Meskipun, seperti telah disebut di atas, bukan rumah sendiri tapi rumah milik kakakku.
Akhirnya kusampaikan niatku pada suamiku. Ternyata suamiku sepakat. Kalau rumah nomor 54 itu bisa kami beli, akan kami hadiahkan bagi ibundaku. Aku terharu dan kemudian teringat pada dua ajaran mulia ini:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu ” (QS Luqman [31]: 14). “Sungguh rugi orang yang mendapatkan salah seorang atau kedua orangtuanya lanjut usia di sisinya (semasa hidupnya), namun tidak menghantarkannya masuk surga” (HR Ahmad).
Langkah Visualisasi
Sejak itu, semakin intensif aku memandangi rumah nomor 54. Tak pernah kulewatkan pandanganku dari rumah itu. Meskipun sekejap selalu kesempatkan melihat dan menyapukan seluruh tatapanku ke rumah di depanku.
Saat menatap rumah nomor 54, aku teringat pengalaman mengikuti workshop terapi visualisasi yang begitu mengesankan diriku dan belum pernah kupraktikkan. Terapi ini dilakukan melalui teknik membayangkan objek yang diinginkan secara imaginasi (imagery) dengan kuat. Kemudian sambil membayangkan, kita melakukan pernyataan-pernyataan positif (afirmasi) terhadap keinginan kita. Begitulah visualisasi dilakukan.
Begitulah, setiap kali selesai shalat Dhuha, aku melakukan visualisasi terhadap rumah nomor 54. Aku selalu membayangkan bagaimana ibundaku berada di rumah nomor 54 dan melakukan semua aktivitas yang beliau senangi. Sambil tak lupa kupanjatkan doa kehadirat-Nya. Aku berjanji apabila rumah tersebut dapat kumiliki, akan kuhadiahkan dan kumanfaatkan untuk tempat tinggal ibundaku di hari tuanya.
Tak terasa, setiap kali melakukan visualisasi, setiap kali pula aku meneteskan airmata. Semakin kuat pula aku merasakan, bahwa rumah itu tak bisa kulepaskan dari pandangan, hati, dan pikiranku.
Kabar Datang
Visualisasi kulakukan entah berapa lama. Aku tak pernah mengingat dan menghitung. Namun, suatu sore sepulang kerja, aku ditelepon oleh seseorang yang rasa-rasanya belum pernah kukenal. Sambil berpikir dan berusaha keras mengingat suaranya, kutanyakan juga siapa yang menelepon di seberang sana. Tak disangka, ternyata si pemilik rumah nomor 54 yang mengontak diriku. Beliau menanyakan apakah saya berminat untuk berjodoh dengan rumah nomor 54.
Terus terang saya syok, tidak menyangka beliau menanyakan hal tersebut. Saya masih tidak menyangka dan tidak percaya terhadap pendengaran saya. Beliau menanyakan apakah saya masih berminat berjodoh dengan rumah beliau.
Waduh, yang benar saja. Tentu saja beliau tidak tahu kalau saya sangat-sangat berharap untuk dapat memiliki rumah beliau. Namun demikian, saya tetap dengan hati-hati menanyakan mengapa beliau berubah pikiran terhadap rumah nomor 54 miliknya.
Ternyata sejak kepulangan kami, beliau teringat-ingat terus dengan percakapan kami tentang rumah nomor 54. Beliau bercerita bahwa beberapa tahun terakhir, penyewa rumah nomor 54 adalah keluarga-keluarga yang bermasalah.
Misal, ada keluarga yang tidak pernah membayar biaya pemeliharaan rumah, ada keluarga yang selalu cekcok, ada juga keluarga yang memindahtangankan persewaan tanpa izin, dan masih banyak lagi. Terakhir dia menceritakan tentang keluarga Bu Janda yang banyak memperoleh keluhan dari tetangga. Kemudian rumah dialihkan pada sekelompok anak muda, yang merupakan teman main anak-anak Bu Janda yang kurang bertanggungjawab.
Belakangan, beliau memutuskan untuk menjual rumahnya. Meskipun begitu, dia tetap menyeleksi calon pembelinya. Memang, banyak calon pembeli yang menawarkan uang dalam jumlah banyak. Namun beliau menolak dan menyatakan kalau uang yang dimilikinya lebih dari cukup.
Beliau menanyakan pada kami, apakah masih berkeinginan untuk berjodoh dengan rumah beliau. Apabila masih berminat, kami dipersilakan membeli dengan berapapun uang yang kami miliki.
Berkah Usaha dan Doa
Subhanallah, wal hamdulillah, walaa Ilaaha illallah, Allahu Akbar. Saya tercekat, saya tak bisa berkata-kata. Saya hanya bisa menyampaikan terimakasih dan berjanji untuk segera bersilaturahim kembali ke rumah beliau. Selanjutnya, saya bersujud syukur kepada-Nya. Ternyata berdoa dengan berwasilah melalui orangtua-terutama ibu-dan dipadukan dengan ilmu pengetahuan, hasilnya luar biasa.
Bagaimana menurut Anda, Saudaraku? Wallahu a’lam (*)
Sukoharjo April 2021
Editor Mohammad Nurfatoni