PWMU.CO – Merdeka atau Syahid! Menurut pendiri Masjid Salman ITB almarhum Muhammad ‘Imaduddin Abdulrahim, nikmat Allah itu luas tak terhingga. Tapi jika mau ’disederhanakan’, maka ada tiga nikmat yang sangat besar nilainya.
Pertama, nikmat kehidupan. Allah menciptakan makhluk, namun tidak semua diberi kehidupan. Benda-benda mati tak mendapat nikmat itu. Manusia, hewan, dan tumbuhan adalah ciptaan Allah yang memiliki kehidupan.
Nikmat kedua yang lebih tinggi nilainya dari kehidupan ialah nikmat kemerdekaan. Tidak semua yang diberi kehidupan oleh Allah diberi kemerdekaan. Malaikat misalnya, sebab mereka hanya punya satu pilihan: taat pada Allah. Sedangkan manusia adalah makhluk yang diberi kemerdekaan. Manusia bebas menentukan pilihan karena dibekali dengan akal.
Adapun nikmat ketiga adalah iman. Nikmat ini hanya diberikan pada kaum beriman. Jadi tidak semua yang memiliki kemerdekaan mendapat hidayah iman sebagai ‘puncak’ nikmat yang diberikan Allah pada makhluknya.
Bukti Level Nikmat
Dosen ITB yang menjadi tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) itu menjelaskan, untuk membuktikan tingkatan atau level kenikmatan itu, bisa dilihat bagaimana orang mengorbankan satu nikmat demi mendapatkan nikmat lainnya.
Orang rela mengorbankan kehidupan demi kemerdekaan, seperti yang dilakukan oleh para pejuang kita. Semboyan ‘merdeka atau mati’ adalah bukti mereka rela mengorbankan kehidupannya demi kemerdekaan. Dalam terminologi lain, merdeka atau mati itu sebenarnya adalah isy kariman au mut syahidan, hidup mulia (merdeka) atau mati syahid.
Sayangnya dua semboyan yang sebenarnya satu makna itu sering dikonfrontasikan. ‘Merdeka atau mati’ diklaim milik para nasionalis sementara ‘hidup mulia atau mati syahid’ dikonotasikan sebagai semboyan kaum radikalis.
Ini salah kaprah! Bukankan kemerdekaan itu adalah kehidupan yang mulia sedang mati terbaik di sisi Allah adalah syahid. Oleh karena itu pahlawan dalam terminologi Islam disebut syuhada.
Nah ternyata ada lagi level nikmat di atas kemerdekaan. Maka, banyak orang yang mengorbankan kemerdekaan demi iman atau keyakinan atas kebenaran yang dia yakini. Banyak yang rela dibui—tidak lagi merdeka—demi mempertahankan keyakinannya.
Dan Bang Imad, panggilan akrab penulis buku legendaris Kuliah Tauhid itu, pernah mengalami hal seperti itu. Dia rela menjadi tahanan politik Orde Baru sebagai risiko atas perjuangannya menyuarakan kebenaran.
Selamat HUT Proklamasi Kemerdekaan: Syukuri dan jangan gadaikan demi perut! (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni