Kisah Pengidap ITP yang Siap Mati untuk si Bayi; Oleh Anisah Machmudah, dokter gigi yang tinggal di Gresik
PWMU.CO – Sebagai Kepala Puskesmas aku mengenal baik semua stafku, bahkan keluarganya. Aku mengenal dia, bidanku, sebut saja Kein. Dia, bidan energik dengan segudang kemampuan: pintar IT, manajemen, komunikasi sosial, keuangan, teknik kebidanan apalagi.
Siapa sangka dia pengidap ITP (Ideopatic Thrombocytopaenia). Sedikit gambaran tentang ITP; thrombocyte-nya sangat rendah hanya berkisar 2.000-10.000, padahal normalnya thrombocyte adalah 150.000-400.000.
Namun, pada dia, secara umum tak tampak hal yang tak normal. Dia tidak lemah, sebaliknya dia selalu bersemangat. Sesekali memang terlihat lelah dan kuyu, bila terlalu capai. Namun dia sudah tahu cara untuk kembali pulih. Jus buah, herbal Cina, akupuntur dan massagelebih cocok untuknya.
Kembalin ke Puskesmas Lama
September 2021, aku ditempatkan kembali di Puskesmas Gending Gresik, Puskesmas yang sama tempat aku bertugas tujuh tahun yang lalu. Kein menjabat tanganku.
“Masyaallah Dokter, doaku terkabul. Saat dulu Bu Dokter pindah tugas, aku bilang, semoga Dokter kembali lagi di sini. Bisa sebulan lagi, tiga bulan lagi atau tahun depan. Allah mengabulkan doa itu tujuh tahun kemudian. Subhanallah,” kata Kein.
Dulu beberapa staf amat dekat, karena hubungan kerja dan pertemanan seiman. Setelah enam tahun berdinas di Puskesmas Gending Gresik, aku sempat berpindah tempat bertugas. Lima tahun di Puskesmas Industri dan dua tahun di Puskesmas Alun-Alun. Hal itu tidak memutus persahabatan kami. Sesekali kami saling ajak di acara kuliner di sekitar kota.
“Bagaimana kabar Nanda Niken,” tanyaku. Niken yang aku maksud adalah putri kedua Kein, gadis belia dengan pipi tembem dan mata bulat yang tajam. Anak yang cantik.
“Bunda Kein, bagaimana ceritanya kelahiran Niken, dulu pas aku pindah tujuh tahun yang lalu? Bunda Kein kala itu sedang mengandungnya, ‘kan? Maaf, bukankah penderita ITP sangat berisiko? Terlebih lagi, berani mengambil risiko dengan hamil lagi dan melahirkan untuk yang kedua?
Padahal yang pertama dulu juga harus di-cytotex tablet di jalan lahir untuk melebarkan pembukaan yang amat berisiko. Perdarahan yang bergumpal-gumpal dan ptekhiae (flek-flek biru karena perdarahan bawah kulit) hampir merata sebadan,” demikian serangkaian pertaanyaanku.
Kein menggamit tanganku. Diajaknya aku menuju kantin.
Kisah Melahirkan yang Mencekam
“Itulah, sungguh suatu keajaiban. Mengingat hal itu terasa betul kuasa Allah atas segalanya. Aku sangat percaya dan makin berserah diri. Memohon dengan penuh harap dan takut. Itulah, Allah memang Sebaik-baik Perencana,” ungkap Kein.
“Kelahiran anak yang kedua ini lebih ajaib, Dokter. Lebih mengharu-biru. Kala itu, aku pasrah total dan siap mati. Aku sejak umur enam tahun divonis punya ITP, dengan segala gejalanya. Aku yang sering bebercak kebiruan di seluruh badan, sering dijauhi teman. Mungkin aku dianggap punya penyakit menular dan membahayakan. Mungkin juga aku dikira mengidap kanker darah/leukemia yang begitu menakutkan,” kenang Kein.
“Di bawah pengawasan Prof Nety dari RSUD dr Soetomo. Diperkirakan umurku tak akan lebih dari 23 tahun. Perkiraan ini membekas di relung hatiku yang terdalam,” tuturnya.
“Pernah, seorang lelaki hendak melamarku. Aku bilang, “Maaf, tunggu dulu hingga usiaku 23 tahun,” jelas Kein.
“Pasrah jiwa membuatku tegar. Ya Allah, ya Robbi, ternyata Engkau mengamanatiku dengan umur yang lebih. Usia 23 tahun terlampaui dan kemudian kuiyakan lamaran lelaki itu,” lanjut Kein.
“Mungkin aku hanya akan punya anak satu saja, andai tak ada prahara menimpa. Di puncak karier suamiku sebagai kepala mesin di sebuah usaha pelayaran, wanita itu datang menggoyahkan biduk rumah tangga kami. Dia meminta mengikhlaskan suamiku, menyerang pribadiku, atau menyeriterakan kemesraan dia dan suamiku. Semua itu, hampir membuat hatiku mendidih. Suami yang kulepas dengan berat saat berlayar, benarkah berselingkuh,” jeritku dalam hati.
“Kupandangi mata suami dalam-dalam. Kupegang pundaknya dengan kuat. Lalu, kukatakan bahwa aku bisa sendiri,” demikian Kein terus berkisah.
“Tidak, Kein! Aku yang jauh darimu senantiasa hanya rindu padamu. Bayangan Joy, anak kita, senantiasa menguatkan aku. Tidakkah kau rasakan, degup dadaku bila bersamamu? Dia, wanita itu, memang mendekatiku namun sama sekali tak membuatku berpaling darimu. Kein, harus bagaimana agar aku bisa membuatmu percaya,” kata suamiku serius.
“Tampak ada butir bening di mata suamiku. Hal itu membuatku luruh. Aku rebah di dadanya. Aku percaya suamiku. Persetan dengan wanita itu. Akan kurebut kembali hati suamiku. Aku akan memberinya seorang anak lagi. Akan kupertaruhkan hidupku, meski aku harus bertaruh nyawa untuk itu,” demikian tekad Kein.
“Aku lalu teringat Anda, Dokter. Dulu sebelum pindah mutasi ke puskesmas lain, Anda bilang bahwa ujian hidup seperti sekolah. Belajar bertahun-tahun, penentunya hanya dua-tiga hari ujian, lulus atau tidak. Maka raihlah hasil rapor terbaik,” demikian Kein mengenang.
“Berita kehamilanku membuat kami girang,” Kein melanjutkan. “Hampir tiap pekan aku USG di RS yang berbeda, dalam perasaan harap dan cemas selama membersamai perkembangan janinku. Suami yang tak selalu di sisiku, membuat kami sering berkirim kabar serta saling bicara via HP. Semua itu meneguhkan cinta kami,” tutur Kein.
“Umur dua pekan kehamilan, terjadi perdarahan. Aku harus bed rest 5 hari. Namun karena tuntutan pekerjaan, hari ketiga mengharuskanku bangun dan kembali bekerja. Saat lelah yang teramat sangat dan suami yang jauh di seberang laut, aku lewati dengan mengaji dan mengaji hingga membuat kabur huruf al-Qur’an yang kubaca. Basah mataku,” terang Kein.
“Umur enam bulan kehamilan, terjadi KPD (ketuban pecah dini). Sempat opname juga. Umur tujuh bulan kembali masuk RS Ibnu Sina Gresik. Duh, thrombocyte-ku sekitar 4 ribu. Transfusi hanya menaikkan sementara, sempat 125 ribu, namun turun lagi menjadi 15 ribu,” lanjut Kein.
“Saat kehamilan 34 pekan, kandungan harus dideterminasi (dikeluarkan karena alasan medis). Di RS Ibnu Sina Gresik tak bisa mengatasi. Lalu, dirujuk ke RSUD dr Soetomo Surabaya,” ujar Kein.
“Masuk ruang steril tanpa HP, tanpa boleh keluarga menunggu. Betul-betul membuatku ridha dan kuat. Ya Allah, beri kemudahan hamba dan anak kami. Kami berserah kepada-Mu,” kata Kein.
“Aku ingat saat itu tanggal 18 Oktober 2015, rencana perkiraan operasi Caesar. Namun tertunda karena terjadi pre-eklamsi. Tensiku naik, tapi dengan pelayanan prima tensiku kembali normal,” Kein melanjutkan.
“Oleh karena aku bidan, diberinya aku alat doppler oleh petugas RS untuk memeriksa denyut janin sendiri. Suatu ketika aku periksa sendiri. Ya Allah, tak ada denyut anakku. Dokter, tolong, jeritku,” Kein terus berkisah.
“Prof Made, bergegas. ‘Segera infus. Maghrib harus dikeluarkan’,” Kein melanjutkan kisah sambil mengutip orang yang membantu persalinan dia.
“Saat itu butuh 44 kantong darah, sementara hanya ada 22 kantong di PMI Surabaya. Di mana lagi aku mencari? Segera aku kontak teman yang berdinas di PMI Gresik,” kata Kein.
“Siap Bu Bidan. Kami, siapkan,” kata teman sejawat.
“Persiapan! Masukkan pasien,” demikian komando Prof Made.
“Tapi Dok, 22 kantung darah belum datang, masih dalam perjalanan,” kata perawat.
“Sambil proses saja,” timpal Prof Made cepat.
“Sudah siap rosikonya, ya Bu. Semoga dimudahkan,” kata Prof Made.
“Aku betul-betul paham dan siap. Kemungkinan wafat ibu dan bayi amat besar, karena kemungkinan perdarahan hebat bisa terjadi pada pasien ITP dengan operasi. Lidahku terus-menerus melafalkan ‘Hasbiyallah wa nikmal wakil, nikmal maula wa nikman nashir’. Dalam setengah sadar, teringat aku mengalami nasal hypoxia/sesak, kejang lalu tak ingat apa-apa. Belakangan, saya diberi tahu, saya sempat beberapa menit anfal,” kata Kein.
“Saat sadar, badan terasa sakit semua. Saya lemah dan pusing. Terasa juga gigi depanku sakit. Dengan lemah, kuraba gigi seriku. Ternyata, dua gigi seriku putus. Rupanya, saat kejang aku menggigit dengan kekuatan penuh. Hah, anakku, engkau mematahkan dua gigiku. Tapi, sungguh engkau karunia terindah di dalam hidupku. Sungguh kami amat menyayangimu, Nak,” ujar Kein mengenang sambal tersenyum.
#
Kein wanita yang luar biasa. Dengan adanya Joy dan Niken, biduk rumah tangganya kembali tegak, tak mudah oleng dengan ombak dan riak yang menerpa. (*)
Gresik, tengah malam 23 Januari 2023
Editor Mohammad Nurfatoni