Oleh: Imam Yudhianto S, SH SE SPd MM (Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Magetan)
PWMU.CO- Di tengah derasnya arus perubahan teknologi, lembaga pendidikan menghadapi tantangan untuk tetap relevan dalam membentuk generasi yang kompeten secara intelektual dan bermartabat secara moral.
Sistem pembelajaran berbasis deep learning, yang menekankan kemampuan analitik, prediktif, dan adaptif, memaksa lembaga pendidikan, termasuk Muhammadiyah, untuk mendesain ulang paradigma pendidikannya.
Era ini bukan hanya soal menguasai alat teknologi, tetapi bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat nilai-nilai Islam yang inklusif, universal, dan rahmatan lil ‘alamin.
Guru Muhammadiyah, sebagai pilar utama pendidikan, harus bertransformasi menjadi inovator pedagogi yang mampu mengintegrasikan tradisi keilmuan Islam dengan kemajuan teknologi mutakhir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (Qs. Thaha: 114).
Ayat ini tidak hanya menjadi doa, tetapi juga manifestasi dari keharusan umat Islam untuk terus mengembangkan pengetahuan, termasuk dalam memahami teknologi modern seperti deep learning.
Sistem ini tidak sekadar alat, tetapi sebuah pendekatan yang mampu mengidentifikasi pola, memahami konteks, dan memprediksi hasil belajar siswa secara lebih mendalam.
Dengan kecerdasan buatan yang mendasarinya, deep learning memungkinkan personalisasi pendidikan, di mana setiap siswa dapat menerima pembelajaran sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Namun, tantangan muncul ketika teknologi ini dihadapkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual. Di sinilah peran guru Muhammadiyah menjadi sangat strategis sebagai penjaga moralitas dalam ruang pendidikan berbasis teknologi.
Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihya Ulumuddin, menegaskan bahwa pengetahuan harus memiliki akar yang kuat dalam akhlak. Ia berkata “Ilmu tanpa akhlak adalah bencana, dan akhlak tanpa ilmu adalah kebodohan.”
Guru Muhammadiyah harus memegang teguh prinsip ini. Dalam menghadapi sistem pembelajaran berbasis deep learning, mereka tidak hanya dituntut untuk memahami teknologi, tetapi juga mampu menggunakannya sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang mendalam.
Teknologi harus dimanfaatkan untuk membangun kepribadian siswa yang berintegritas, kreatif, dan memiliki kesadaran sosial tinggi.
Sebagai bagian dari gerakan pembaruan, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa teknologi tidak menjadi alat alienasi, tetapi instrumen pemberdayaan.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Hadis ini menegaskan bahwa pendidikan harus berorientasi pada pembentukan karakter. Dalam era deep learning, tugas guru Muhammadiyah tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga membimbing siswa untuk menggunakan teknologi secara bijaksana.
Teknologi harus didekati dengan prinsip maqasid syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian, pembelajaran berbasis teknologi dapat menjadi medium untuk menciptakan generasi yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.