Oleh Muhsin MK – Penggiat Sosial
PWMU.CO – Saat ini perkembangan ranting ranting Muhammadiyah makin dinamis di tengah-tengah masyarakat. Termasuk dalam hal ini pada daerah-daerah urban perkotaan dengan heterogenitas masyarakat yang tinggi. Pendirian secara formal organisasi Muhammadiyah yang lengkap dengan kepengurusannya.
Tetapi pada sisi lain harusmengakui ada organisasi Muhammadiyah tingkat ranting ini dengan kondisi yang stagnan yang tidak sesuai harapan dan kriteria sebagimana harapan LPCR-PM Muhammadiyah.
Fenomena rapat persyarikatan yang jarang atau bahkan tidak pernah ada dan kantor sekretariat tidak jelas tempatnya. Juga ketua ranting yang cenderung berjalan sendiri dalam aktivitas yang dakwah yang nafasnya tidak sejalan dengan tata cara dakwah Muhammadiyah.
Mengapa terjadi fenomena seperti itu? Setelah dicermati, fenomena ini terjadi setelah munculnya pihak-pihak eksternal dalam Muhammadiyah dan mengaku sebagai kader. Kader-kader ‘ngaku-ngaku’ ini tentu memiliki ideologi dan pandangan sendiri dalam usaha menggerakkan organisasi. Muhammadiyah hanya menjadi tempat bernaung saja, apalagi Muhammadiyah ini memiliki finansial yang sangat besar.
Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga kelompok eksternal cenderung merasa cocok untuk hidup masuk dalam tubuh Muhamadiyah. Apalagi jika mereka sudah sukses menggarap anak anak dari keluarga Muhamadiyah, dan anak-anak ini juga aktif dalam persyarikatan. Hanya mereka tetap melaksanakan model dan perilaku kelompok eksternal itu.
Kelompok pertama, adalah kader-kader Negara Islam Indonesia (NII). Kader kader ini merasa nyaman berada dalam lingkungan Muhammadiyah. Apalagi aktifitas pembinaan ideologinya tetap berjalan seperti biasa tanpa merasa diganggu oleh pimpinan persyarikatan.
Pada awalnya memang tidak terjadi persinggungan dalam tubuh Muhammadiyah. Namun berikutnya pasti terjadi gesekan juga. Kegiatan kelompok ini bukan saja menghambat gerakan Muhammadiyah, namun juga menimbulkan konflik internal. Apalagi jika dalam aktivitasnya memiliki kaitan dengan urusan finansial (baca: uang).
Kelompok kedua, setelah masuknya gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dan mempengaruhi generasi muda muslim di Indonesia, termasuk juga generasi muda dari keluarga Muhammadiyah. Dan kemudian menjelma menjadi kekuatan politik praktis. Kader-kadernya pun menyebar ke berbagai ormas Islam, termasuk Muhammadiyah. Mereka memperluas jaringan dan memperkuat pengaruh untuk menopang kekuatan basis partainya.
Apalagi umumnya di ranting-ranting Muhammadiyah ketika kurang tampak sosok ustadz dan imam yang berpengaruh, termasuk di masjid-masjidnya. Kader-kader partai sudah terbina sejak awal dengan bekal kemampuan membaca Al Qur’an dengan baik dan indah. Merekapun aktif dalam menjalankan shalat berjamaah di masjid dan memanfaatkan tempat ibadah itu untuk berkumpul dan menggiatkan kajian dengan tanpa memakai nama Muhamadiyah.
Meskipun mereka menjadikan pimpinan atau ketua Muhammadiyah sebagai pengisi kajian, mereka tidak menjadikan kegiatan itu sebagai kegiatan organisasi. Mereka membuat identitas tersendiri dengan kelompoknya sendiri. Sesekali waktu mereka ikut nimbrung dalam pengajian, bahkan mengisi kajian dan berkhutbah di masjid Muhamadiyah.
Mereka juga masuk melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah. Mereka menjadi guru dan ikut terlibat dalam kegiatan pendidikan persyarikatan atau pengurusnya. Bahkan karena kemampuannya tidak jarang mereka diangkat menjadi kepala sekolahnya.
Namun karena di sekolah Muhammadiyah ada pelajaran Al Islam dan ke-Muhammadiyahan, mau tidak mau, mereka ikut saja menerapkan sistem ini. Hanya kegiatan mereka sebagai kader tetap berusaha melakukan dengan membuat jaringan sesama grupnya di sekolah Muhammadiyah.
Kelompok ketiga, adalah kelompok yang dinamakan salafi. Mereka kadang melakukan progaganda bahwa pengajian yang diisi ustadz ustadz Persyarikatan kurang menarik, dan tidak mendalam. Mereka mempengaruhi jamaah dan warga Muhammadiyah yang awam untuk cenderung mencari ustadz yang dipandang lebih mendalam kajiannya.
Ustadz-ustadz salafi ini umumnya mengisi pengajian kitab dan memiliki kemampuan bahasa Arab yang cukup baik. Apalagi jika membandingkannya dengan ustadz Muhammadiyah yang berada di tingkat ranting tersebut. Apalagi mereka yang latarbelakangnya bukan pesantren. Akibatnya warga dan jamaah dari Muhammadiyah lebih tertarik pada pengajian kitab ini.
Plus Minus hadirnya kelompok eksternal
Adanya penetrasi dalam ranting Muhammadiyah dari ketiga kelompok ini tentu ada plus minusnya bagi persyarikatan. Plusnya, Muhammadiyah secara formal tetap eksis di Tengah-tengah masyarakat. Kemakmuran masjid-masjid Muhammadiyah menjadi tampak, karena tidak sekedar tampak dalam kegiatan shalat berjamaah tapi juga kegiatan kajian.
Negatifnya, kader Muhammadiyah tulen tidak akan terlahir karena pembinaan dan didikan dari kelompok eksternal tersebut. Ranting-ranting Muhammadiyah yang seperti ini dengan sendirinya akan sulit berkembang dengan baik, apalagi dalam usaha menggerakkan kegiatan pendidikan, sosial dan ekonomi jamaah.
Solusinya, Pimpinan Muhammadiyah di tingkat atasnya (yaitu PCM, PDM dan PPM), perlu lebih giat dan gencar mengadakan dan meningkatkan kualitas kaderisasi dan pembinaan organisasi secara sistematis, terukur dan massif dalam rangka mewujudkan Pimpinan Ranting Muhammadiyah yang benar-benar Muhammadiyin. Kader-kader dari kelompok luar tersebut semoga lambat laun berkurang dan atau menjadi Muhammadiyah sejati. Wallahu ‘alam.
Editor Notonegoro