Keempat, kalau seorang Pemuda Muhammadiyah telah direncanakan untuk kawin dengan seorang pemudi NA, maka hendaklah mulai berhati-hati. Akhlak mulai diusahakan bertambah baik. Shalatnya wajib diusahakan bertambah baik. Hubungan pergaulan dengan pemudi-pemudi lainnya haruslah mulai dikurangi. Bergurau-guraunya harus dikurangi. Ketawa-ketawanya, senyum-senyumnya, hilir mudiknya bersama-sama dengan pemudi-pemudi lain wajib dikurangi, syukur mulai dielakkan untuk tidak menimbulkan salah paham.
Sebelum melaksanakan keempat hal itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh calon pengantin, maupun orangtua/mertua:
1. Mempermudah perundingan antara besan/calon besan. Jangan dengan upacara yang kaku, ketat dan tradisionil.
2. Mahar, dipermudah.
3. Mementingkan Agama dan Akhlak
4. Upacara pelaksanaan perkawinan sederhana, walaupun meriah
(Baca: Polemik Hukum Pre-Wedding dan Nikah Tanpa Restu Orangtua)
5. Walimah cukup sederhana
6. Walimah jangan meninggalkan tetangga yang dhuafa (fakir, miskin, yatim, dan sebagainya), jangan hanya mementingkan yang kaya-kaya atau berpangkat tanpa mengingati para dhuafa
7. Pakaian pengantin jangan meninggalkan norma-norma Agama, seperti kurang menutup aurat, dan sebagainya
8. Pengaturan bagi yang merayakan walimah pun perlu dijaga dari batas-batas agama. Tidak campur antara pria dan wanita, tidak ada orkes-orkes atau band-band yang bertentangan dengan kepribadian-kepribadian Islam baik lagu-lagunya maupun pelaku-pelakunya, biduan-biduannya, janganlah lepas dari ajaran-ajaran Agama.
(Catatan ini sudah disesuaikan dengan ejaan baru dari buku “Anggauta Muhammadijah”, (Jogjakarta: Pimpinan Pusat Muhammadijah, tt), halaman 10-11)