PWMU.CO – Salah satu ciri demokrasi itu gaduh. Berisik dengan banyak komentar dan kritikan. Karena itu presiden tidak bisa melarang rakyat jangan gaduh. Inilah pilihan demokrasi yang harus diterima.
Demikian disampaikan aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar dalam Seminar dan Deklarasi Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Muhammadiyah (LBHMu) se Jawa Timur di Aula Mas Mansyur, Sabtu (14/9/2019).
”Dari zaman SBY hingga Jokowi, teorinya selalu jangan gaduh. Ya ndak bisa. Kita harus gaduh , kok kita tidak boleh gaduh. Itu apa? Demokrasi harus berisik, tetapi berisiknya konstruktif dan solutif, membawa perubahan,” kata Haris Azhar.
Dia mengatakan, posisi penyelenggara negara itu memiliki kekuasaan. Karena diberi amanah untuk mengelola , memfasilitasi, bukan untuk membinasakan.
”Simpel saja yang menjadi keinginan rakyat. Negara itu menjadi pelayan rakyat. Fasilitator buat kami. Kekuasaan yang kami berikan untuk melindungi kami,” katanya.
Contoh paling kongkrit, sambung dia, masalah Papua. Apa yang muncul ketika peristiwa di Surabaya beberapa pekan lalu? ”Yang muncul sesuatu yang mengerikan. Tidak menyelesaikan masalah. Tidak melindungi orang Papua justru nuduh ISIS, nuduh makar, jadi alasan pemerintah berubah-ubah,” ujarnya.
”Orang Papua dituduh makar. Tapi beberapa hari kemudian orang Papua dituduh anggota jaringan ISIS. Saya tidak tahu teorinya. Apakah Kapolri koordinasi dengan Wiranto sang penebar hoax?” selorohnya yang disambut hadirin terpingkal-pingkal.
Menurut Haris, negara ini jangan aji mumpung. Mumpung kekuasaan didapat, tampaknya jalan sendiri, antara departemen satu dengan lainnya tanpa koordinasi. Padahal kita sebagai warga mengharapkan, negara melindungi, mencegah atau menyelesaikan konflik.
”Negara itu harusnya ya di tengah masyarakat. Dan masyarakat menyokong kebijakan negara untuk menjalankan hukum. Tapi yang terjadi seolah-olah bukan salah pemerintah ketika seseorang terbelit hukum,” tuturnya. (*)
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto