Dorong Mobil Mogok seperti Itulah Gali Potensi, kolom ditulis oleh Ichwan Arif guru SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik.
PWMU.CO – Kita sering kali ragu mengambil langkah pertama. Ada perasaan takut, was-was yang menyelimuti pikiran. Ketakutan untuk gagal yang meningkat menjadi sikap pesimistis.
Perasaan ini pasti dirasakan semua orang. Bedanya, orang yang berhasil keluar dari ketakutan itu telah menjadikan dirinya sebagai lawan utama. Dia telah melakukan ‘kekerasan’ pada dirinya sendiri.
Dia telah dan berhasil memaksa diri. Kalau tidak dipaksa, psikis dia akan terus diliputi ketakutan untuk melangkah. Takut untuk memulai hal yang baru. Melakukan apa yang baru dirasakan. Gagal terus dibayangkan dan benar-benar menjadi momok paling menakutkan.
Mendorong Mobil Mogok
Mendorong mobil mogok adalah pekerjaan yang tidak mengenakan. Ini sama halnya dengan mendorong diri untuk bisa lebih baik, lebih maju, dan berhasil. Butuh keberanian untuk memulainya.
Tahapan awal terasa berat dan butuh ekstra energi. Seperti halnya mendorong mobil yang mogok. Menit pertama adalah puncaknya tenaga yang harus dikeluarkan. Saat mobil sudah menggelinding, semua terasa lebih ringan.
Jadi, keberhasilan menggali potensi memiliki peran besar. Menggali potensi itu sama halnya dengan mengawali mendorong mobil mogok tadi. Usaha ini akan memiliki dampak pada kesadaran untuk bisa berhasil. Kesadaran inilah yang nantinya tumbuh, mekar, dan menjadi navigator dalam menentukan arah potensi itu. Mau ke kanan, kiri, ke bawah, atau ke atas. Bahkan sukses dan gagal pun bisa ditentukan.
Ketika kesadaran itu tidak terlatih dan meredup, potensi kita akan banyak terbuang. Inilah awal mula, wujud kegagalan bisa disarakan begitu pahit dan menyakitkan. Maka, mendingan kita bersusah-sudah di awal, tetapi ending-nya bisa bahagia. Seperti halnya mendorong mobil mogok tadi.
Hukum 10.000 Jam
Semua orang pasti setuju, berhasil atau sukses itu bukan diperoleh dari cara instan. Butuh bertahun-tahun dalam berjuang dengan memeras keringat dan memutar otak. Pemain sekaliber Lionel Messi saja tidak langsung sukses menjadi pemain bola dengan bayaran termahal di dunia. Tidak hanya duduk di pinggir lapangan, besoknya langsung bisa mengocek bola dan mencetak ratusan goal.
Dibutuhkan ketekunan dan keberanian untuk mencoba. Berlatih, jatuh, bangun lagi, jatuh dan bangun lagi. Proses inilah yang akan mampu mendewasakan diri untuk lebih siapa untuk melangkah.
Kekuatan mental akan semakin terasa manakala dalam roadmap itu ada tantangan, masalah, halangan, riak, ataupun mungkin caci maki maupun umpatan. Itu semua adalah bentuk ‘apresiasi’ yang harus dihadapi dan dipecahkan.
Dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell menyatakan ada hukum yang namamnya 10.000 jam. Rata-rata dalam satuan tahun, 10.000 jam itu artinya 10 tahun. Kalau ingin menjadi master dan jagoan di bidangnya butuh latihan selama 10 tahun. Karier itu ditempah melalui proses panjang dan berliku. Tidak ada kata istilah instan atau bim salabim
Endapan yang Butuh Diaktualisasikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) potensi diri adalah kemampuan dan kualitas yang dimiliki seseorang, namun belum dipergunakan secara maksimal.
Potensi diri merupakan kemampuan atau kekuatan diri seseorang baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud akan tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal oleh diri seseorang.
Potensi tersebut butuh sentuhan. Butuh untuk dirawat sehingga bisa diaktualisasikan melalui perilaku, perbuatan, dan aksi. Kalau potensi hanya tersimpan rapat-rapat di dalam almari, bukan tidak mungkin bisa mengakibatkan lapuk dan nilai gunanya hilang.
Endapan potensi diri butuh ruang dan waktu sebagai tempat menempah, berlatih, bertanding. Butuh arena maupun gelanggang untuk mengetahui kekurangan, kelemahan untuk selanjutnya bisa diperbaiki dan menjadi kekuatan terbaiknya.
Nilai potensi diri akan berada di level tinggi bila dalam diri memiliki olahpikir, keuletan, maupun kerja keras. Di sinilah penentua harga potensi diri bisa sangat mahal atau murah. Semoga kita bisa menaikkan level potensi diri. Semoga. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.