Berawal dari kentut, pembelajaran kontekstual ala KH Ahmad Dahlan. Liputan Agus Widianto, kontributor PWMU.CO asal Sidoarjo.
PWMU.CO – Demikian yang disampaikan Ketua Forum Guru Muhammadiyah (FGM) H Pahri SAg MM, saat memberi sambutan di acara Silatnas Kepala SMP/Mts Muhammadiyah di Indonesia, Rabu-Kamis (23-24/3/22).
Menurut Pahri, Muhammadiyah identik dengan pendidikan. Sejak lama persyarikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berfokus untuk memberikan peran serius dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
“Saat ini jumlah lembaga pendidikan di Indonesia sebanyak 3334 sekolah. Dengan jumlah yang begitu besar, sekolah Muhammadiyah harus bisa bersinergi dan berkolaborasi dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah di Indonesia,” ujarnya.
Pahri melanjutkan, kegiatn silatnas ini merupakan momen yang sangat tepat untuk merekatkan kembali kolaborasi antar sekolah-sekolah Muhammadiyah di Indonesia. “Sekarang ini adalah zamannya sekolah Muhammadiyah untuk saling berkolaborasi,” tuturnya di Aula Gedung F Universitas Muhammadiyah (UM) Metro, Lampung.
Dalam silatnas yang diikuti 160 peserta Kepala Sekolah SMP/MTs Muhammadiyah se-Indonesia, itu Pahri mengatakan, dengan berkolaborasi sekolah Muhammadiyah akan menjadi tangguh.
“Kalau ada sekolah Muhammadiyah ingin besar sendiri, berarti dia masih menggunakan mindset zaman kolonial. Dengan berkolaborasi, sekolah Muhammadiyah akan menjadi tangguh dan kalau sudah tangguh pasti akan berkemajuan,” kata Pahri.
Berawal dari Kentut
Tiga indikator sekolah dikatakan tangguh, menurutnya, pertama, sekolah Muhammadiyah harus berani kreatif, inovatif, dan berbeda. Pendidikan Muhammadiyah sudah diawali oleh KH A Dahlan sebelum negara Indonesia merdeka. Dia sudah lebih dulu menjadi pionir untuk mengolaborasikan pendidikan multi-value.
Diawali dengan salah seorang murid kentut yang tidak mengaku, dia mengajarkan arti sebuah kejujuran. KH Ahmad Dahlan menjelaskan proses terjadinya kentut secara ilmiah yang mudah dipahami anak-anak. Kemudian dia mengenalkan kasih sayang Allah dengan peristiwa kentut. Lengkap dan kontekstual.
“Begitulah KH A Dahlan mengajarkan. Maka, sekolah Muhammadiyah harus berani kreatif, inovatif, dan berbeda. Sehingga sekolah Muhammadiyah bisa menjadi solusi memecah kejenuhan siswa dalam belajar,” paparnya.
Kedua, kata dia, guru Muhammadiyah harus profesional. Selain dituntut baik pada kompetensi pedagogik, kepribadian, dan sosial, guru Muhammadiyah harus profesional. “Guru Muhammadiyah harus menguasai dan menghayati materi yang akan diajarkan kepada muridnya. Sehingga materi yang disampaikan tidak sekadar keterangan biasa, tetapi ada ruh yang bisa dirasakan oleh muridnya,” pesannya.
Selanjutnya, sambung Pahri, Guru Muhammadiyah harus berkarakter petarung, unggul, mencerahkan, dan menyejahterakan. Petarung bermakna guru Muhammadiyah tidak boleh gampang menyerah dengan keadaan. Dia harus memiliki optimisme tinggi dalam menghadapi berbagai macam masalah pendidikan. “Tidak mudah tergiur dengan keuntungan materialistic, karena guru Muhammadiyah dididik untuk menghidupi dan membesarkan amal usaha Muhammadiyah (AUM),” urainya.
Pahri juga menyampaikan guru Muhammadiyah harus unggul, artinya berkarakter unggul dan memiliki uswah yang kuat. “Sehingga bisa menjadi teladan di manapun dia berada. Juga mencerahkan dan menyejahterakan, yakni guru Muhammadiyah harus solutif dalam berinteraksi sosial di masyarakat,” pungkasnya. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.