Masuknya Virus Salafi ke Jantung Muhammadiyah; Ditulis oleh Dr Aji Damanuri, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Merupakan rewiew buku Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah karya Dr Ali Trigiyatno.
PWMU.CO – Sudah cukup lama kelompok salafi masuk ke Indonesia beriringan dengan terbukanya keran demokrasi yang cenderung liberal pascareformasi 1998.
Kelompok ini enggan mengakui sebagai sebuah organisasi bahkan cenderung mengharamkannya. Hal ini cukup mengherankan mengingat mereka memiliki imamah (tokoh-tokoh panutan), jamaah (pengikut), harakah (aktivitas), ri’ayah (beberapa aturan yang mereka sepakati). Bahkan memiliki manhaj yang diikuti. Secara substansial, semua itu sudah memenuhi syarat dan rukun sebuah organisasi.
Keengganan kelompok ini membentuk wadah formal sebenarnya bisa dipahami sebagai bagian dari modus operandi dalam melebarkan sayapnya. Bahasa kasarnya: ‘gelandangan’ tanpa ‘rumah’ cenderung akan menempati apa saja yang bisa digunakan untuk bernaung, karena ‘rumah’ adalah kebutuhan naluriah setiap yang bernyawa.
Hal ini wajar karena peta dakwah membutuhkan geografis dan demografis yang jelas. Sementara hampir setiap jengkal tanah dan kerumunan keberagamaan di Indonesia nyaris sudah dinaungi oleh ormas-ormas, baik yang formal maupun tidak.
Hanya ada dua pilihan, berjuang membentuk ‘rumah’ dakwah baru—dengan perjuangan yang gigih membuat ‘rumah’ dan menaungi sebagian yang belum memiliki wadah—atau merebut ‘rumah’ orang lain.
Tampaknya pilihan kedua ini yang menjadi konsen salafi. Dengan merebut ‘rumah’ orang maka akan memperoleh jamaah beserta dengan infrastruktur di dalamnya tanpa harus berpayah-payah. Salah satu sasaran tembak salafi adalah Muhammadiyah, karena kelompok ini dianggap cukup terbuka, moderat, open minded, dan ramah terhadap kelompok-kelompok pendatang baru.
Baca sambungan di halaman 2: Titik Pisah Fikih Salafi-Muhammadiyah