Majelis ilmu bukan sekadar tempat berbagi pengetahuan, tetapi juga ladang perjuangan di jalan Allah. setiap orang yang keluar rumah untuk menuntut ilmu termasuk dalam golongan yang fi sabilillah.
“Barang siapa keluar rumah dalam rangka menuntut ilmu, maka ia sedang berjuang di jalan Allah hingga ia kembali ke rumahnya,” ujar Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Prof. Biyanto, mengutip sabda Rasulullah saw.
Biyanto menggambarkan, bahkan bila seseorang wafat saat sedang berada di majelis ilmu, maka kematiannya tergolong syahid karena dia berpulang di tengah upaya mencari ilmu yang diridai Allah.
Guru Besar guru besar di bidang Ilmu Filsafat di UIN Sunan Ampel Surabaya ini, menyinggung suasana kebangsaan Indonesia yang sempat memanas di akhir Agustus lalu.
Dia menyayangkan munculnya gelombang demonstrasi besar yang diwarnai tindakan anarkis, perusakan, hingga penjarahan.
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan gejolak sosial akibat ketimpangan dan kekecewaan masyarakat terhadap perilaku sebagian elite yang hidup bermewah-mewahan di tengah kesulitan rakyat.
“Ketika kemiskinan berhadapan langsung dengan kemewahan, pengangguran dengan gaya hidup flexing, maka akan muncul gejolak sosial. Itu sudah terbukti,” ujarnya sepeti dilansir dari kanal Youtube Majelis Tabligh PDM Sidoarjo.
Dia berharap bangsa Indonesia tetap menjadi negeri yang damai seperti doa Nabi Ibrahim as: “Rabbi ij’al hadza baladan amina” (Ya Allah, jadikanlah negeri ini aman).
Biyanto kemudian memperkenalkan istilah VUKA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) untuk menggambarkan era digital masa kini.
Menurutnya, masyarakat hidup di masa perubahan yang sangat cepat (volatility), tidak menentu (uncertainty), penuh kerumitan (complexity), dan sarat ketidakjelasan informasi (ambiguity).
Dia memberi contoh perubahan gaya hidup dan pekerjaan yang drastis. Dulu, profesi pembaca berita atau presenter itu bergengsi, kini banyak kantor televisi kosong.
“Sebaliknya, muncul profesi baru seperti youtuber, influencer, dan tiktoker yang dulu tidak pernah dikenal,” jelas Staf Ahli Regulasi dan Hubungan Antar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI ini.
Kehati-hatian Menerima Informasi
Biyanto juga menceritakan kisah lucu dan reflektif. Dia menceritakan masa mudanya ketika masih harus menunggu kiriman uang lewat teman dari kampung karena orang tuanya tak bisa menulis surat atau mengirim wesel.
“Sekarang cukup e-banking, asal ada saldonya,” ujarnya disambut tawa jamaah.
Namun, di balik tawa itu, Biyanto mengingatkan bahwa perubahan cepat dan dunia yang tak menentu menuntut kebijaksanaan dan kehati-hatian, terutama dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Kata Biyanto, salah satu tantangan besar di era digital adalah banjir informasi palsu atau hoaks. Dia menyoroti kebiasaan masyarakat yang lebih sering membaca pesan WhatsApp dibandingkan buku.
“Padahal di medsos, berita bohong jauh lebih banyak daripada berita benar. Sementara buku itu pasti melalui proses editorial dan verifikasi,” tegasnya.
Dia menegaskan pentingnya prinsip tabayyun sebagaimana disebut dalam Surah Al-Hujurat ayat 6: “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti.”
Biyanto juga mengingatkan agar umat berhati-hati, sebab berita palsu dapat menimbulkan fitnah besar seperti yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw.
Dia mengisahkan peristiwa Haditsul Ifk, kabar bohong yang menimpa Aisyah ra setelah Perang Bani Musthaliq, yang sempat mengguncang rumah tangga Nabi.
“Sampai akhirnya Allah menurunkan Surah An-Nur ayat 11–20 sebagai klarifikasi langsung dari langit,” ujarnya.
Biyanto juga mengutip kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Surah Thaha. Dia menjelaskan bagaimana setan menggunakan tipu daya dengan menyebarkan informasi palsu untuk menyesatkan manusia.
“Setan membisikkan bahwa kalau Adam makan buah khuldi, ia akan hidup abadi dan memiliki kerajaan yang tak binasa. Padahal itu hoaks pertama dalam sejarah manusia,” ujarnya.
Dari kisah itu, dia menekankan pelajaran penting: ketika manusia mengikuti informasi yang menyesatkan, keburukannya akan terbuka, sebagaimana aurat Adam dan Hawa tampak setelah mereka melanggar larangan Allah.
Biyanto mengingatkan bahwa tanggung jawab tidak hanya ada pada penerima berita, tapi juga pada pembawa berita. Dia mengutip Surah An-Nisa ayat 9 dan Surah Al-Ahzab ayat 70 yang memerintahkan umat untuk berkata benar (qulu qawlan sadida).
“Berita yang benar pun tidak boleh disampaikan kepada orang yang tidak berhak. Kadang niatnya baik, tapi dampaknya bisa buruk,” katanya.
Untuk memperkuat pesannya, dia menceritakan kisah sahabat Abu Hurairah yang ingin segera menyampaikan sabda Nabi tentang keutamaan kalimat lailahaillallah.
Namun Umar bin Khattab menahannya karena khawatir hadis itu disalahpahami umat. Nabi sendiri kemudian membenarkan sikap Umar.
“Itu contoh bahwa kebenaran pun harus disampaikan dengan kebijaksanaan,” jelasnya.
Tiga Pesan Bijak di Era Gaduh
Di ujung cersmahnya, Biyanto menyampaikan tiga pesan utama agar umat Islam bisa hidup bijak di era gaduh:
1. Menjadi penerang (mubassir), yaitu pribadi yang membawa kebenaran dan solusi, bukan penyebar masalah.
2. Berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, yakni selalu melakukan tabayyun sebelum percaya atau membagikan berita.
3. Berpikir jernih di tengah perubahan, yakni tidak mudah terbawa arus emosi, opini, atau kepentingan pihak tertentu.
“Kalau kita ingin hidup bijak di era gaduh, jadilah penerang, bukan pembuat gaduh. Sampaikan kebenaran dengan cara yang benar, dan pastikan berita yang kita sebar mendatangkan kemaslahatan, bukan kerusakan,” tutup Biyanto. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments