Bid’ah Model KH Ahmad Dahlan tulisan opini Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu mengupas hal-hal baru yang diadakan Muhammadiyah.
PWMU.CO– Dalam kitab al I’tisham, Imam as Syatibi dan Al Fairuz berkata, bid’ah itu menambah atau membuat hal baru (muhdats) dan setiap yang menambah atau baru itu sesat. Lantas para ulama nahwu pun terus berselisih, tentang ihwal yang disebut ’baru’ hingga hari ini.
Karena perbedaan definisi dan cara pandang ihwal bid’ah, ada ustadz Salafi mengatakan, memelihara burung berkicau, koleksi ikan koi, termasuk menyukai bonsai dan anggrek menjadi bid’ah karena tiada dalil dan contoh dari Nabi saw.
Sayidina Umar ra berkata, inilah bid’ah yang paling aku sukai ketika memutuskan shalat tarwih berjamaah di masjid. Orang-orang Salafi ternyata juga mengadakan shalat tarwih berjamaah di masjid.
Prof Wawan Gunawan menyebut bid’ah sebagai inovasi. Buya Yunahar Ilyas membatasi sebuatan bid’ah hanya pada ibadah mahdhah. Tapi Prof Din Syamsuddin malah mengimbau agar warga Persyarikatan memperbanyak bid’ah sosial. Saya setuju ketiganya. Tidak ada yang saya bantah.
Para ulama nahwu berdebat tentang kata kullu bid’atin selama lebih 1400 tahun dan tak pernah rampung hingga hari ini. Perbedaan ini melahirkan disparitas pemikiran yang melahirkan aliran, manhaj dan mazhzab yang banyak dan terus berselisih.
Memelihara Konflik
Realitasnya, Muhammadiyah dan NU berada pada pusaran konflik itu dan terus berlarut karena ada ’kesengajaan’ merawat pertengkaran sebagai ikhtiar untuk menjaga militansi. Dua mainstream bid’ah yang dipahami sebenarnya sama, sebab keduanya sama-sama menampik dan menolak bid’ah, tapi kemudian berbeda pada soal batasan dan definisi.
Termasuk cakupan teologis dan fenomena sosiologis yang melatari. Muhammadiyah dan NU sebenarnya berada pada track yang sama benar. Cuma keduanya jarang ngopi bareng, sehingga sesuatu yang sesungguhnya sama terlihat berbeda karena perbedaan cara pandang.
Saya tak pernah ambil pusing dengan batasan dan definisi bid’ah. Terlalu banyak hal bisa dilakukan tanpa harus ribut dengan urusan definisi.
Dakwah yang ditawarkan KH Ahmad Dahlan sangat populer karena populis. Jelas dan berpihak. Keberpihakan yang dia tawarkan adalah realistis yang menjadi kebutuhan umat. Bukan kumpulan dalil yang disuguhkan, tapi tindakan nyata. Inilah yang disebut Carl Whyterington, peneliti Barat sebagai praktisi agama. Meminjam istilah NU, saya menyebut Kiai Dahlan ahli sunah hasanah.
Muhammadiyah bukan hanya model pemikiran (state of mind) seperti halnya Salafisme dan Wahabi. Tapi juga gerakan amal sebagai implementasi dari pemikiran. Jika Salafi dan Wahabi sibuk dengan kesalehan personal maka Muhammadiyah tidak cukup hanya dengan itu. Muhammadiyah menjadikan kesalehan personal dan kesalehan sosial sebangun, bukan berdiri saling berhadapan.
Teologi Pembebasan al-Maun
Jika bid’ah sosial dimaknai inovasi, maka Kiai Dahlan adalah pakarnya. Itulah bid’ah model KH Ahmad Dahlan. Muhammadiyah adalah ikhtiar memperbanyak bid’ah sosial. Sebut saja gagasannya memadukan ilmu sekuler dan ilmu agama dalam satu atap pada model sekolah, menerjemah al-Quran, panti asuhan, yang kemudian terus pesat berkembang menjadi ratusan universitas, rumah sakit, baitul mal berawal dari semangat al-Maaun. Inilah ”teologi pembebasan” yang sarat pemikiran cemerlang.
Jadi mendirikan organisasi Muhmmadiyah dan semua ortomnya, termasuk sekolah, universitas, rumah sakit, panti asuhan, baitul mal, Lazismu, MDMC, MCCC adalah bid’ah sosial, karena memang tak ada perintah dari Nabi saw para sahabat dan para salafus salih. Inilah bid’ah yang paling aku sukai.
Mungkin ini yang dimaksud dengan sabda Baginda Nabi saw, barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah hasanah (perbuatan yang baik) dalam Islam maka ia mendapat pahala sekaligus pahala orang lain yang mengamalkannya sampai hari kiamat. (HR Muslim)
Ternyata kita berbeda hanya pada soal redaksional. Jadi sebenarnya hal-hal baru semacam sekolah, rumah sakit, Lazismu, panti asuhan, atau Ansor, Pemuda Muhammadiyah, majelis dzikir, pengajian Ahad dengan aplikasi streaming bahkan pelihara burung hingga koleksi anggrek adalah sunah hasanah. Wallahu taala a’lam. (*)
Editor Sugeng Purwanto