Modal Muhammadiyah Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri, kolom ditulis oleh Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim; anggota DPR RI Fraksi PAN. Ditulis khusus menyambut Milad Ke-108 Muhammadiyah, 18 November 2020.
PWMU.CO – Menghadapi pandemi berkepanjangan, bangsa ini benar-benar berada dalam situasi yang krusial dan kompleks. Upaya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia menghadapi banyak masalah.
Oleh karenanya memerlukan kepedulian banyak pihak. Adalah tepat jika pada milad ke-108 tahun 2020 ini Muhammadiyah berusaha meneguhkan gerakan keagamaan menghadapi pandemi dan masalah negeri.
Modal yang Diandalkan
Cukup banyak modal yang dimiliki Muhammadiyah untuk hadir sebagai solusi. Tetapi jangan salah, Muhammadiyah memang memilik infrastruktur dan aset yang dibangun secara volunter jika dihitung secara material tidak kecil.
Namun modal utama persyarikatan ini tidak terletak pada modal finansial dan material, melainkan lebih pada modal sejarah, kultural, sosial, dan juga kepemimpinan.
Modal sejarah yang dimiliki Muhammadiyah merupakan akumulasi perjuangan persyarikatan sejak negeri ini belum merdeka. Dengan modal pengalaman sejarah, upaya Muhammadiyah untuk ikut membawa Indonesia ke masa depan terkandung jaminan tidak akan tercerabut dari akar sejarah bangsa.
Di samping itu persyerikatan yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini memiliki modal kultural yang antara lain melahirkan budaya memberi. Kebahagiaan warga Muhammadiyah muncul bukan pada saat menerima, tetapi saat memberi.
Karena itulah maka mudah dimengerti jika tumbuh etika yang kuat pada setiap warga persyarikatan, sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah dan tidak mencari hidup di Muhammadiyah.
Bersyarikat, Bukan Kerumunan
Muhammadiyah juga memiliki modal sosial yang kuat. Dengan modal ini tumbuh kesadaran bersyarikat. Warga Muhammadiyah menyadari tidak akan bisa menjadi gerakan keagamaan yang berkemajuan jika hanya menjadi kerumunan.
Ciri kerumunan itu berhimpun di satu wadah tetapi masing-masing buka lapak dan mengejar kepentingannya sendiri-sendiri. Dengan modal sosial inilah terbentuk kesadaran bersyarikat sehingga setiap kebijakan dan amal usaha yang diagendakan selalu mendapatkan dukungan semua warga persyerikatan.
Dengan bersyarikat, warga Muhammadiyah bisa mengokohkan “bangunan” pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang menyebar di seluruh pelosok negeri bahkan sudah merambah ke luar negeri.
Berbagai kegiatan filantropis dan kemanusiaan seperti yang dikelola oleh Lazismu, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MDCC) telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh anak negeri.
Jangan dilupakan semangat bersyarikat dalam jihad
politik Muhammadiyah (Jipolmu) bisa mengantarkan warganya untuk mendapatkan kursi di parlemen sebagaimana yang dilakukan oleh PWM Jawa Timur dalam Pemilu 2019 lalu.
Kepemimpinan ala Muhammadiyah
Tidak kalah pentingnya adalah kuatnya modal kepemimpinan. Sejauh ini persyerikatan Muhammadiyah, di semua level, organisasi otonom dan AUM (amal usaha Muhammadiyah), memiliki mekanisme pergantian kepemimpinan yang selalu menghasilkan pemimpin persyerikatan yang berkomposisi elite benevolent.
Yakni elite yang tak menghabiskan energinya untuk menyelesaikan urusan dan kepentingan pribadi, tetapi elite yang energinya dihabiskan untuk memberi. Memberi manfaat, pencerahan, inisiative, arah perjuangan, pilihan strategi dakwah dan juga keteladanan dalam memberdayakan masyarakat, amar makruf nahi mugnkar.
Kepemimpinan di tangan benevolent elite——meminjam istilah Andrei Shleifer dan Robert W. Vishney—memungkinkan Muhammadiyah dikelola oleh “giving and helping hand“. Organisasi berada di tangan pemimpin yang baik hati memberi peduli dan berusaha memberdayakan warganya (Shleifer & Vishney, The Grabbing Hand: Government Pathologies and Their Cures, 1998).
Dengan kepemimpinan seperti itu menjadikan relasi antara pimpinan dengan warga persyarikatan menjadi begitu sangat kuat.
Jika pola kepemimpinan berada ada di tangan elite benevolent, spirit-nya adalah memberi dan memberdayakan (giving and helping) maka organisasi atau jika ditarik ke sisi makro yaitu negara, maka negara akan mendapat dukungan penuh dari warganya. Dengan demikian menjadi mudah mengelola kekayaan sumber daya alam yang kita miliki sebagai modal menjadikan negara yang maju dan kuat.
Adalah berbahaya jika kepemimpinan jatuh di tangan malevolent sehingga masyarakat dikendalikan penguasa “grabbing hand“. Seperti dijelaskan Shleifer dan Vishney, penguasa yang tersebut terakhir memiliki sifat rakus, bernafsu untuk memiliki lebih banyak dan tak segan merampok kekayaan negara.
Persoalan kepemimpinan ini barangkali yang membuat bangsa ini masih belum bisa mengatasi pandemi dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Sejauh ini pemerintah dengan strategi PSBB (pembatasan sosial berskala bbbbesar) dan berbagai upaya yang dilakukan belum bisa menekan pandemi Covid-19.
Hingga lebih setengah tahun terakhir kurvanya belum kunjung landai sehingga menimbulkan kesan hopeless dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan. Belakangan mencoba beli vaksin dari Tiongkok, Rusia dan konon juga dari Amerika. Para pembesar negeri tampak begitu mengharap vaksin itu bisa menghabisi Covid-19.
Pandemi Timbulkan Berbagai Masalah
Faktanya wabah pandemi ini masih merupakan ancaman serius, meski nasib Indonesia seperti ini tidaklah sendiri. Dari sisi ekonomi bangsa ini telah resmi menghadapi resesi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 minus 2,9 persen.
Dampaknya sudah terasa. Pemerintah tak kuasa mengerem defisit anggaran. Tak urung angkanya terus melebar. Mengutip pernyataan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Luky Alfirman (22/9) defisit APBN 2020 melebar dari target Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini.
Pajak untuk menutup defisit APBN tidak lagi bisa diharapkan banyak karena rasio penerimaannya turun akibat dunia usaha pada kolaps. Akhirnya pemegang otoritas keuangan pun kembali melirik peluang mencari pinjaman. Banyak yang mencemaskan kalau pilihannya yang tersebut terakhir karena beban hutang ke depan akan semakin menganga.
Dunia usaha yang kolaps bukan hanya usaha “kakap” kecil tetapi juga menyentuh sejumlah usaha kakap besar (big fish). Usaha pariwisata, hotel, dan travel paling terpuruk. Padahal sektor ini sumbangan PDB-nya cukup signifikan.
BPS, Agustus 2020 mengumumkan kunjungan wisatawan mancanegara hanya 164.970, turun drastis sebesar 89,22 persen jika dibandingkan Agustus 2019 berjumlah 1,53 juta (baca beritasatu.com).
Dampaknya bukan hanya banyak terjadi PHK, tetapi juga memperlebar angka pengangguran dan peningkatan angka kemiskinan. Mudah-mudahan peringatan Nabi Muhammad SAW “kadal faqru an-yakuna kufra” tidak terjadi di negeri ini dengan meningkatnya jumlah angka kemiskinan.
Demokrasi yang Mengkhawatirkan
Dari sisi politik, upaya melakukan penguatan demokrasi tentu semakin berat. Demokrasi memerlukan penguatan ekonomi dan pendidikan. Apa yang dikatakan Almond dan Verba (1963) demokrasi akan terbangun jika ekonomi tumbuh dengan baik dan civic culture berkembang. Tidak banyak negara miskin yang berhasil memperkuat demokrasi. Meski tak semua negara kaya tumbuh demokrasi.
Sejalan dengan bertambahnya pengangguran dan angka kemiskinan, bangsa ini dibayang-bayangi sejumlah gerakan protes. Kaum buruh dan mahasiswa turun ke jalan dengan pemicu pengesahan UU Cipta Kerja tanggal 5 Oktober 2020 lalu dengan banyak demonstrannya yang ditangkap.
Survei kebebasan berpendapatpun mendapat nilai buruk. “Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, saat mengumumkan hasil sigi yang dilakukan lembaganya tanggal 24 hingga 30 September 2020 (baca tempo.co).
Learning Loss
Demokrasi juga mensyaratkan tumbuhnya civic culture. Budaya kewargaan ini tak akan tumbuh jika masyarakatnya tak terdidik dengan baik. Sementara konfigurasi pendidikan SDM yang kita miliki masih banyak yang SD dan tidak lulus SD saja.
Oleh karena itu bangsa ini berharap dunia pendidikan bisa dijadikan solusi bagi lahirnya manusia-manusia merdeka dan kreatif di tengah tekanan ekonomi, sosial, maupun politik ini. Namun nyatanya dunia pendidikan tak luput dari hempasan wabah Corona. Pembelajaran hanya bisa dilakukan dengan daring, luring, dan sedikit daerah yang berani tatap muka. Alhasil, pembelajaran tidak bisa dilakukan secara optimum.
Karena proses pembelajaran tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya mudah dimaklumi jika muncul kekhawatiran terjadi learning loss. Selama pandemi tak terjadi proses pembelajaran mendalam (deep learning). Pembelajaran tidak menumbuhkan proses transformasi potensi peserta didik secara kognitif, psikomotorik maupun afektif.
Nah, pada milad ke-108 ini, Muhammadiyah kembali meneguhkan untuk hadir menjadi sebuah gerakan keagamaan yang mampu menjadi solusi. Kali ini masyarakat membutuhkan solusi menghadapi pandemi dan memecahkan masalah sosial, ekonomi maupun politik.
Kiprah persyarikatan Muhammadiyah tentu sangat ditunggu dan didambakan masyarakat. (*)
Modal Muhammadiyah Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri: Editor Mohammad Nurfatoni.