Muhammadiyah – NU di Pusaran Glorifikasi FPI oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO-Pernyataan aktor dan komedian Pandji Pragiwaksono yang menyebut FPI selalu ada saat dibutuhkan karena Muhammadiyah dan NU jauh dari masyarakat menjadi kontroversial dan perdebatan.
Tak perlu baper lantas sebut ribuan amal usaha atau pesantren Muhammadiyah untuk meng-counter. Ini bukan soal kompetisi tentang banyaknya amal usaha atau jumlah pengikut. Apalagi mengomparasi FPI dengan Muhammadiyah atau NU sungguh tidak selevel.
Jujur diakui, inilah kelihaian media mem-branding image atau opini FPI kepada publik semacam glorifikasi. Ironisnya banyak yang katut dan larut dalam skema berpikir yang mereka bentuk. Tidak terkecuali ormas yang disebut modern dan besar karena memiliki amal usaha dan jumlah pengikut fantastis.
Realitasnya, gerakan FPI lebih fenomenal meski dalam skala yang sangat kecil. Kehadiran FPI membagi-bagi puluhan atau ratusan nasi bungkus di tempat- tempat bencana lebih menarik dan memikat publik, dibanding puluhan miliar bantuan yang telah diberikan Muhammadiyah melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) atau Lazismu. Begitu juga NU dan badan otonom (Banom)-nya melakukan hal yang sama. Keduanya tidak bermaksud menafikan BNPB.
Sikap Anti Kemapanan
FPI hadir mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Muhammadiyah dan NU, yaitu sikap kritis, anti kemapanan dan perubahan. Sampai tahap itu, FPI memberi keleluasaan dan harapan terhadap stagnasi politik dan demokrasi yang memburuk.
Dua hal yang menurut saya luput dari perhatian dua ormas besar itu. FPI adalah harapan baik, yang kemudian diberi kemasan agama sebagai nahy munkar. Sebab Muhammadiyah dan NU dianggap lebih banyak amar makruf-nya.
FPI hadir melawan rezim dan itu memikat banyak orang. Ada irisan dan kesamaan pemikiran dan pergerakan terutama mimpi tentang negara Islam yang tidak tersalur di kedua ormas besar itu. FPI adalah solusi, ketika Muhammadiyah dan NU dianggap lembek, jinak atau bahkan bagian dari rezim. Dengan bahasa yang sedikit sopan, mereka yang tidak puas menyebut Muhammadiyah dan NU lebih condong pada amar makruf ketimbang nahy munkar-nya.
Nahy munkar dipahami melawan kemapanan. FPI kemudian mengubah diri menjadi kanal aspirasi sebagian yang tidak ter-cover, meski masih harus banyak riset untuk membuktikan. Dengan metode analisis teks hermenetik fenomenologis dari para pengikut dan pemimpin kedua ormas besar itu terhadap fenomena yang tersedia, saya pikir cukup signifikan menyebut bahwa irisan ideologi itu demikian kentara dan mudah dibaca.
Glorifikasi FPI
Yang diglorifikasi tak boleh atau tak bisa salah. Selalu benar atau dicarikan pembenar untuk memenuhi hasrat glorifkasinya itu. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah melawan habis sikap yang melahirkan taklid buta ini.
Ensiklopedi Britannica mendefinisikan glorifikasi sebagai pemujaan terhadap seseorang atau kelompok di era modern. Sebuah istilah yang agak sopan sedikit. Sebab jatuhnya sama yaitu kultus. Ada beberapa sebab kenapa seseorang melakukan glorifkasi. Salah satunya identifikasi personal Habib Rizieq berhasil tampil memerankan sebagai kurban yang dizalimi dan itu efektif untuk meraih simpati publik, sebagai modal awal glorifikasi. Tapi sayang kita marah saat dibilang kultus.
Padahal kultus ya kultus. Dan itu penyebab taklid buta. Ironis memang. Jika glorifikasi justru tumbuh subur pada perkumpulan yang menabalkan diri sebagai modern dan berkemajuan, dan FPI adalah cara ampuh melakukan glorifikasi yang efektif tanpa banyak biaya sebab justru dilakukan ormas besar tanpa diminta. (*)
Editor Sugeng Purwanto