Oleh Imam Yudhianto S, SH SE SPd MM – Ketua PCM Maospati Magetan
PWMU.CO – Globalisasi yang secara nyata mampu menghilangkan sekat geografis antar negara, memberikan tantangan tersendiri bagi kader Muhammadiyah. Eksistensi kader Muhammadiyah berpotensi untuk dipertanyakan: “masihkah menjadi lentera yang akan menyalakan obor peradaban?”. Ketika dunia modern menawarkan kecanggihan teknologi dan gemerlap material, dibaliknya tersembunyi ancaman berupa degradasi moral, erosi identitas, dan polarisasi ideologi.
Di sinilah urgensi revitalisasi karakteristik utama kader Muhammadiyah. Kembali meneguhkan misi besar gerakan yang lahir dari semangat pembaruan untuk membangun peradaban Islam yang berkemajuan menjadi keharusan.
Kader Muhammadiyah, sebagaimana digariskan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, adalah pribadi yang tidak sekedar memahami Islam sebagai doktrin. Islam juga sebagai spirit yang terinternalisasi dalam setiap aspek kehidupan. Meski dalam banyak hal, nilai-nilai luhur ini sering kali tergerus oleh sikap pragmatis dan hedonis.
Maka revitalisasi kader bukan sekadar wacana normatif, tetapi harus menjadi bagian dari jihad untuk membangkitkan kembali ruh yang mulai redup. Kader Muhammadiyah — dalam terminologi Al-Qur’an — harus menjadi khairu ummah (umat terbaik), sebagaimana difirmankan Allah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk mausia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar” (QS. Ali Imran: 110).
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dirancang sebagai gerakan tajdid, pembaruan yang menyeluruh. Prof Haedar Nashir dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa kader Muhammadiyah harus menjadi sosok dengan integritas moral, kecerdasan intelektual, dan kepekaan sosial.
Sayangnya, beberapa kasus menunjukkan adanya kader yang terjebak dalam rutinitas, kehilangan visi besar, dan bahkan terseret arus politik transaksional. Ini menjadi tantangan tersendiri yang menuntut pembenahan mendasar.
Revitalisasi karakteristik utama kader Muhammadiyah harus dimulai dari penguatan nilai amar makruf nahi mungkar sebagai landasan gerakan. Dalam tafsirnya, Imam Al-Mawardi menegaskan bahwa amar makruf bukan sekadar seruan moral. Tetapi upaya kolektif untuk menciptakan keadilan sosial, ekonomi, dan politik.
Kader Muhammadiyah juga harus kembali menjiwai prinsip fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) sebagaimana pesan Allah dalam QS Al-Baqarah: 148. Prinsip ini bukan hanya soal kompetisi individu, tetapi juga kolaborasi kolektif untuk membangun sistem yang menopang kemajuan umat.
Pendidikan merupakan salah satu arena jihad yang tak boleh diabaikan. Prof Abdul Munir Mulkhan menekankan bahwa pendidikan Muhammadiyah tidak boleh sekadar mereproduksi ilmu pengetahuan, tetapi harus menjadi laboratorium kehidupan yang melahirkan agen-agen perubahan.
Dalam konteks ini, kader Muhammadiyah harus menjadi motor untuk menghadirkan pendidikan yang membebaskan, memberdayakan, dan mencerdaskan sesuai dengan kebutuhan zaman.