Pengalaman Sekeluarga Isolasi di Wisma Atlet, oleh Pudji Pertiwi, pensiunan tenaga medis dan tinggal di Jakarta.
PWMU.CO – Di masa pandemi Covid-19 ini, kami sekeluarga ikut tertular. Padahal, kami sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan Prokes 5M yaitu memakai masker, sering mencuci tangan, menjaga jarak, sering menjemur diri, dan minum vitamin. Tapi, Allah berkehendak lain.
Kejadiannya bermula pada 14 Februari 2021. Kala itu, anak laki-laki kami, Ibadurahman, sakit. Dia, yang kami panggil Ibad, meriang sekitar dua hari sepulang dari rumah temannya.
Sebagai ibu, melihat anak sakit pasti ikut merasakan dan berusaha mengurangi rasa sakitnya. Saya ladeni dia makan, memijatnya, dan menyiapkan obat yang harus diminum serta berbagai keperluan lainnya.
Setelah dua hari tak masuk kerja, sakitnya reda. Ibad pun masuk kerja lagi. Sesampai di kantor, teman-temannya menganjurkan supaya Ibad periksa swab antigen. Kebetulan, setelah lulus kuliah Ibad bekerja sebagai Sagas Covid-19 di PNPB. Jadi, untuk periksa swab Antigen di kantornya juga tersedia. Hasilnya bisa diketahui saat itu juga. Ibad positif.
Mengingat swab antigen-nya positif, harus dilanjutkan untuk periksa swab PCR. Tapi untuk periksa PCR di BNPB tidak tersedia, maka harus dirujuk ke luar. Rujukan dari BNPB di RSDC (Rumah Sakit Darurat Covid), di Wisma Atlet.
Ternyata, hasilnya positif juga. Atas hal itu, Ibad dilarang masuk kerja lagi dan harus isolasi. Teman-temannya menganjurkan untuk isolasi di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
Oleh karena salah satu anggota keluarga ada yang positif Covid-19, maka harus di-tracing setiap orang yang sebelumnya sempat ketemu dan ngobrol dengan Ibad. Pendek kata, yang pernah kontak erat dengan Ibad harus diperiksa swab. Sekadar catatan, tracing adalah proses identifikasi dan mengelola orang orang yang telah terpapar suatu penyakit untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Tentu, kami pun sekeluarga harus periksa swab PCR dan swab antigen. Ternyata kami serumah, empat orang, positif semua dan harus isolasi diri selama 14 hari (dihitung dari masa inkubasi virus). Boleh pilih, mau isolasi mandiri atau isolasi yang telah disediakan pemerintah.
Dua Pilihan
Kami dihadapkan antara dua pilihan. Masing-masing ada plus dan minusnya. Pilihan pertama, kalau isolasi di rumah. Kami tidak perlu repot-repot menyiapkan barang bawaan untuk pergi selama dua pekan. Juga, kami tidak harus meninggalkan rumah terlalu lama.
Tapi, kalau di rumah kami tidak berani keluar rumah walaupun itu untuk keperluan belanja sehari-hari. Pun, kami tidak bisa bertemu dengan siapapun karena orang lain yang mendengar kami positif akan langsung menjauh. Padahal, kami butuh keluar rumah untuk belanja dan lain-lain keperluan sehari hari.
Pilihan kedua, bila kami pergi ke Wisma Atlit. Kami harus meninggalkan rumah selama minimal 14 hari. Bisa diperpanjang bila dalam pemeriksaan Swab selanjutnya hasilnya masih positif. Berikutnya, karena harus meninggalkan rumah lumayan lama maka kami harus membawa perlengkapan baju dan lain-lain untuk bekal selama 14 hari.
Mengingat anak kami, Ibad, sudah isolasi duluan di Wisma Atlit, kami sudah mendapatkan bocoran bagaimana situasi dan kondisi di sana. Berdasar hal itu, akhirnya kami memutuskan mengikuti Ibad untuk isolasi di Wisma Atlet. Adapun tambahan pertimbangannya, bahwa walaupun misalnya kami di rumah, tetap tidak bisa keluar rumah. Padahal sebagai ibu rumah tangga kami harus memikirkan menu dan menyiapkan makan untuk keluarga.
Bersiap-siap
Setelah kami memutuskan untuk isolasi di Wisma Atlet, kami lapor ke puskesmas tempat kami periksa swab. Bahwa, kami menginginkan isolasi di Wisma Atlet. Kami pun diminta menunggu kabar, kapan kami harus berangkat. Catatan: kami periksa swab hari Jumat 19 Februari 2021 dan hari Sabtunya kami sudah dapat kabar kalau hasilnya positif.
Kami diminta siap-siap kemungkinan kami masuk Wisma Atlrt pada hari Ahad. Ternyata, Ahad pagi kami dapat kabar, belum bisa hari itu karena ruangannya masih dalam proses sterilisasi setelah dipakai oleh orang lain.
Akhirnya kami jadi berangkat hari Senin dengan dijemput ambulan, berkumpul dulu di Puskesmas. Selanjutnya dijemput dengan mobil sekolah menuju Wisma Atlit.
Hari Pertama
Sesampai di Wisma Atlit, kami menunggu di ruang tunggu untuk pembagian ruangan. Di situ dibedakan, untuk yang tidak ada keluhan sama sekali bisa langsung diantar ke Tower 5. Sedangkan yang ada keluhan, walaupun cuma batuk harus diperiksa dulu oleh dokter. Di situlah yang butuh waktu lama karena harus ditensi dulu dan diperiksa darah.
Ternyata, setelah ditensi, suami jadi ketahuan kalau tensinya tinggi sekali yaitu 240/110. Melihat angka itu, sampai si petugas tidak percaya dan harus dicek lagi. Untuk itu sampai ganti, baik petugas yang mengukur tensinya maupun alat tensinya. Hasilnya, tetap tinggi. Suami saya lalu ditangani dulu di ruang UGD dan dilakukan pemeriksaan lain untuk memastikan diagnosa dan pemberian terapi yang pas.
Saya dan anak perempuan saya diantar ke kamar terlebih dulu. Sedangkan suami diberi terapi sampai tensinya mendekati normal.
Keseharian di Wisma Atlet
Selama isolasi di Wisma Atlet, kami merasa tidak seperti orang yang sakit. Hal ini karena kegiatan sehari-hari kami di sana seperti layaknya orang yang sedang umroh. Betapa tidak, di sana hanya mengerjakan ibadah, olahraga, dan istirahat.
Setiap shalat bisa berjamaah. Setelah itu mengaji. Kebetulan, sesama pasien berinisiatif membuat mushala di ruang pertemuan yang letaknya tidak jauh dari kamar kami.
Kalau pagi selesai shalat dan mengaji, kami berolahraga bersama sesuai kesukaan masing-masing. Ada yang jalan pagi keliling komplek, ada yang lari, ada yang senam bersama, dan ada yang hanya berjemur saja. Pokoknya santai di ruang terbuka dengan lapangan yang luas.
Kalau sudah lelah berolahraga, kembali ke ruang masing-masing untuk istirahat. Sedangkan makan sehari-hari disediakan di depan Ruang Suster. Makanan disajikan dalam kemasan kotak. Waktunya, setiap selesai shalat subuh, dhuhur, dan sebelum maghrib. Menunya, komplit plus susu dan buah. Adapun obat, disediakan sehari 3 kali, ditaruh di samping tempat makan dengan diberi nama.
Setelah kami diisolasi selama 10 hari, dilakukan tes swab PCR dan Antigen lagi. Alhamdulillah, hasilnya, kami sudah diizinkan pulang.
Di antara hikmah dari semua peristiwa di atas, alhamdulillah, suami jadi ketahuan kalau sebenarnya beliau punya penyakit darah tinggi. Jika tidak ketahuan dan terlebih jika kebiasaan makannya selama ini tetap seperti sebelum-sebelumnya, bukan tak mungkin bisa stroke mendadak. Banyak yang bilang, biasanya tensi 240/110 itu sudah tidak kuat. Tensi 200/100 saja sudah stroke. (*)
Alhamdulillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni