Search
Menu
Mode Gelap

Dekolonisasi Pendidikan Menuju Emansipasi yang Sebenarnya

Dekolonisasi Pendidikan Menuju Emansipasi yang Sebenarnya
Oleh : Fikri Haikal Ketua PC IMM Bantul Periode 2023-2024 dan Penulis Buku, "Paradigma Pendidikan Profetik Kuntowijoyo
pwmu.co -

Suatu malam, di Asrama Sabena, Jalan Taman Siswa, kami “menyurah”. Buku Ania Loomba yang berjudul Colonialism/Postcolonialism (1998) menjadi medan pergulatan gagasan. Menyurah karya Loomba ini, seolah menjadikan lapisan-lapisan pemahaman lama kami tentang pendidikan hari ini mengalami pembongkaran dan mempertanyakannya kembali.

Menyurah karya Loomba ini bukan sekadar untuk pencerahan akademis, tetapi juga sebagai ajakan untuk melihat warisan yang tak tampak. Yaitu warisan kolonialisme dan poskolonialisme, yang masih meresap dalam urat nadi sistem pendidikan di negeri ini.

Loomba, tidak hanya teliti dalam mendefinisikan terminologi kunci. Tapi juga menunjukkan bagaimana kolonialisme modern melampaui sekadar eksploitasi ekonomi sebagaimana yang tertuliskan dalam bukunya.

Kolonialisme modern adalah sistem restrukturisasi global yang secara fundamental menarik bangsa jajahan untuk masuk dalam lingkaran ekonomi penjajah. Bahkan kolonialisme ini Loomba menyebutnya sebagai “bidan”nya kapitalisme Eropa.

Lantas, bagaimana pemikiran ini menjadi fondasi kritis untuk melihat kembali sistem pendidikan kita hari ini?

Pendidikan sebagai arena kekuasaan kolonial

Dengan menggunakan lensa pascakolonial ala Loomba, nampak jelas bahwa pendidikan bukanlah entitas yang netral. Pendidikan juga menjadi arena kekuasaan yang sarat dengan dinamika sejarah penindasan. Di akui atau tidak, dalam banyak hal pendidikan kita merupakan warisan atau peninggalan dari proyek kolonial.

Penjajah datang tidak hanya mencari dan mengambil rempah-rempah. Mereka juga menanamkan model pendidikan yang menyimpan tujuan atau agenda terselubung. Mereka memiliki kepentingan mencetak tenaga kerja administratif yang patuh, membentuk kelas menengah yang loyal dengan menginternalisasi nilai-nilai penjajah.

Semua itu dengan bungkus dalih dalih “peradaban”.

Warisan penjajah ini terdeteksi dalam kurikulum dan narasi yang kita gunakan saat ini. Bahasa asing mengalami pemujaan secara berlebihan menjadi media utama ilmu pengetahuan. Sedangkan bahasa lokal direduksi dan dianggap inferior.

Kurikulum dominan dengan narasi Barat, mengagungkan sejarah mereka — seraya mengabaikan kontribusi lokal. Pertanyaannya, “ini pendidikan yang membebaskan, atau justru pendidikan yang menjinakkan?”

Dampak paling merusak dari warisan ini adalah pengabaian terhadap pengetahuan lokal. Kearifan tradisional dan praktik adat dianggap “primitif” dan “tidak ilmiah”.

Pendidikan modern dari penjajah menciptakan kesenjangan epistemologis. Cara-cara berpikir khas masyarakat lokal tidak lagi memperoleh pengakuan.

Dampaknya, kita terjebak dalam ketergantungan intelektual — dengan menempatkan Barat sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Apakah sekolah, sebagai sebuah institusi, telah berubah fungsi dari sarana pencerahan menjadi alat reproduksi hierarki sosial?

Perlunya perubahan 

Menyaksikan fenomena tersebut, kritik terhadap sistem pendidikan tidak cukup hanya menyasar guru atau sekolah. Kritik harus bersifat struktural, menyorot pada sistem yang dirancang untuk melanggengkan ketidaksetaraan.

Pendidikan bukanlah ruang kosong bebas nilai, tapi merupakan arena di mana ideologi dan kepentingan kelompok dominan dipaksakan.

Siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan pengetahuan “resmi”? Tentunya Negara — dengan ideologi politiknya, kelompok hegemonik yang membentuk kurikulum, dan atau bahkan pengaruh global dari bekas penjajah dan lembaga internasional yang mendikte standar “Barat”?

Relasi dominasi ini kental terasa. Hubungan guru-murid yang hierarkis, yang Paulo Freire mengkritiknya sebagai “pendidikan gaya bank”, menekan pemikiran kritis.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Negara menggunakan pendidikan sebagai alat kontrol sosial untuk membentuk warga yang patuh. Lebih jauh, pendidikan melanggengkan ketidaksetaraan. Anak dari latar belakang kaya memiliki akses ke sekolah yang lebih baik, sementara mereka yang miskin terperangkap dalam sistem yang kekurangan.

Konsep kuasa simbolik dari Pierre Bourdieu menjelaskan ini dengan gamblang bahwa pendidikan melegitimasi hierarki sosial melalui sertifikasi.

Gelar dan ijazah memberikan “modal simbolik” untuk mendapat pengakuan. Penguasaan bahasa “resmi” menjadi modal simbolik yang menguntungkan.

Ketika pengetahuan serta nilai tertentu dipaksakan, dan yang lain diremehkan, apakah itu bukan sebagai bentuk “kekerasan simbolik” yang merugikan?

Jalan membebaskan pendidikan

Jika pendidikan masih tersandera oleh bayang-bayang kolonial, bagaimana mungkin kita bisa melangkah maju?

Jawabannya terletak pada dekolonisasi pendidikan. Ini bukan sekadar menghapus atau menolak elemen asing (Epistemologi Barat), melainkan membangun kembali sistem yang otentik, relevan, dan memberdayakan.

Apa yang harus di dekolonisasi? Maka harus melakukan revisi kurikulum dengan mengintegrasikan perspektif, sejarah, dan pengetahuan lokal. Pedagogi harus bergeser dari model otoriter ke partisipasi aktif.

Penggunaan bahasa lokal perlu penguatan. Epistemologi lokal harus diakui di luar dominasi paradigma Barat. Dan yang paling krusial, struktur institusional pendidikan harus direformasi agar lebih demokratis.

Inti dari dekolonisasi adalah mengangkat epistemologi lokal dan subaltern. Kita harus menghargai pengetahuan tradisional dan sistem filsafat hidup yang dimiliki masyarakat lokal.

Kita harus memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini mengalami pembungkaman; kelompok adat, minoritas, perempuan, dan membangun jembatan pengetahuan, bukan hierarki.

Pendidikan yang benar-benar membebaskan juga harus melepaskan diri dari kontrol ideologis negara dan kekuatan pasar.

Apakah pendidikan hanya akan menjadi alat negara untuk menanamkan ideologi atau justru menjadi instrumen untuk menciptakan “produk” industri?

Di sinilah otonomi intelektual di lembaga pendidikan menjadi krusial, agar kebebasan akademik tidak diintervensi oleh agenda politik atau kepentingan korporat.

Jadi, dekolonisasi pendidikan adalah sebuah perjalanan yang bertujuan menjadikan pendidikan sebagai alat emansipasi — bukan penjinakan. Pendidikan harus membekali individu dengan kesadaran kritis untuk menganalisis struktur kekuasaan yang menindas.

Pendidikan adalah sebuah imperatif; sebuah perjuangan berkelanjutan untuk menciptakan sistem yang benar-benar adil, berakar, dan membebaskan.***

0 Tanggapan

Empty Comments