Hari Senin, 25 Agustus 2025, mungkin akan kenangan tak terlupakan sebagai hari ‘perlawanan rakyat’. Pada hari itu, gelombang demonstrasi menentang kebijakan pemerintah pecah di Indonesia, lalu merambat ke berbagai negara Asia.
Dari Jakarta, suara protes rakyat bergema hingga ke Manila dan Kathmandu, menyatukan aspirasi masyarakat lintas batas yang sama-sama merasa tertindas.
Di Indonesia, unjuk rasa bermula dari penolakan terhadap rencana kenaikan tunjangan anggota DPR.
Ribuan massa dari berbagai elemen menuntut pembatalan tunjangan perumahan, transparansi penggunaan gaji, hingga penghentian kenaikan gaji dewan.
Aksi di depan Gedung DPR memanas ketika aparat memukul mundur massa.
Keesokan harinya, 27 Agustus, buruh dan mahasiswa kembali turun ke jalan. Buruh menuntut revisi kebijakan ketenagakerjaan, sementara mahasiswa melanjutkan protes terhadap kebijakan pemerintah yang menurutnya merugikan rakyat.
Ketegangan pecah ketika sebagian massa melempari pagar DPR, memicu aparat membubarkan kerumunan dengan water cannon dan gas air mata.
Malam harinya, tragedi terjadi di Pejompongan: sebuah kendaraan taktis Brimob melindas seorang driver ojol hingga tewas. Video peristiwa itu viral, menjadikannya simbol kemarahan rakyat.
Aksi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan. Publik menuding aparat bertanggung jawab.
Gelombang kemarahan mencapai puncaknya ketika muncul “tuntutan 17+8” yang berisi desakan perbaikan menyeluruh, mulai dari Presiden Prabowo Subianto, DPR, partai politik, hingga institusi keamanan dan ekonomi.
Pemerintah diberi tenggat hingga 5 September 2025. Meski sebagian tuntutan mendapatkan respons positif, sejumlah poin tetap menggantung.
Menginspirasi demonstran negeri tetangga
Melihat keberanian aksi demonstrasi di Indonesia, para aktivis dan kelompok masyarakat Filipina merasa terinspirasi sekaligus termotivasi.
Mereka menyadari bahwa perlawanan kolektif bukanlah hal yang mustahil. Momentum tersebut kemudian mereka manfaatkan untuk menyoroti ketidakadilan yang telah lama mereka alami, yakni praktik korupsi masif dana proyek pengendalian banjir.
Ironi yang memilukan menjadi pemicu utama kemarahan rakyat Filipina: — di tengah negara yang terus diterpa cuaca buruk, badai, dan banjir yang merendam pemukiman serta merenggut nyawa, justru — terungkap fakta bahwa dana yang seharusnya melindungi mereka telah “ditenggelamkan” ke dalam kantong para koruptor.
Skandal yang nilainya mencapai milyaran bahkan triliunan Peso itu bukan lagi sekadar angka di atas kertas; ia menjelma menjadi banjir yang menghancurkan rumah, kelaparan akibat gagal panen, dan duka kehilangan anggota keluarga tercinta.
Oleh karena itu, unjuk rasa besar-besaran di Filipina dapat kita pahami sebagai ledakan amarah yang telah lama terakumulasi akibat dua tekanan sekaligus: bencana alam di satu sisi dan bencana moral berupa korupsi di sisi lain.
Rakyat Filipina turun ke jalan bukan semata-mata karena solidaritas terhadap Indonesia, melainkan karena mereka melihat peristiwa di Indonesia sebagai cermin penderitaan mereka sendiri.
Sekaligus sebagai harapan bahwa kekuatan massa mampu memaksa lahirnya akuntabilitas dan perubahan.
Demonstrasi di Nepal
Gelombang protes ini pun tidak berhenti di Filipina saja, melainkan menjadi bagian dari fenomena regional yang lebih luas dan menyebar ke berbagai penjuru Asia. Di Nepal, misalnya, demonstrasi besar-besaran meletus akibat ketimpangan yang mencolok antara pejabat dan masyarakat.
Seperti luka yang ditaburi garam, kepahitan hidup rakyat Nepal kontras dengan gaya hidup para elite politik yang seakan berada di realitas negara lain.
Generasi Z, sebagai penggerak utama unjuk rasa, merasakan ketimpangan itu semakin tajam ketika membandingkan dengan kehidupan di negara lain.
Pemerintah sempat memberlakukan larangan terhadap 26 platform media sosial, termasuk Facebook dan YouTube, namun kekecewaan yang telah lama terpendam akhirnya meledak.
Aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai di Kathmandu pada Senin (8/9) berubah ricuh dan menelan korban jiwa.
Sedikitnya 72 orang tewas, termasuk Rajyalaxmi Chitrakar, istri mantan Perdana Menteri K.P. Sharma Oli yang rumahnya terbakar.
Kericuhan berujung pada penjarahan rumah pejabat serta krisis politik yang memaksa pemerintahan memberlakukan darurat militer.
Situasi semakin memanas dengan pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli, Presiden Ramchandra Paudel dan sejumlah pejabat lainnya.
Semangat perubahan
Fenomena ini menunjukkan bahwa semangat untuk menuntut perubahan dan keberanian dalam menyuarakan ketidakadilan dapat muncul secara serentak di berbagai negara Asia, saling menginspirasi meskipun terpisah oleh batas teritorial.
Menariknya, tiga peristiwa di atas memiliki kesamaan simbol, yaitu bendera Jolly Roger. Simbol ini berasal dari karya fiksi One Piece ciptaan Eiichiro Oda, yang menceritakan sosok Monkey D. Luffy sebagai tokoh utama yang berjuang melawan kekuasaan absolut pemerintah dunia yang bobrok dan korup.
Pola serupa pernah terjadi di kawasan Jazirah Arab pada 2011, yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring.
Gerakan tersebut berawal di Tunisia dan dengan cepat menyebar ke berbagai negara, memicu gelombang unjuk rasa besar-besaran yang menuntut kebebasan dari rezim otoriter.
Bagi Indonesia, Arab Spring patut menjadi pelajaran: bahwa meredam gejolak sosial harus dengan langkah strategis, bukan represi.
Pemerintah dan masyarakat perlu bergandengan tangan memperkuat demokrasi, membangun transparansi, serta menegakkan keadilan sosial. Tanpa itu, sejarah mungkin akan kembali berulang.***


0 Tanggapan
Empty Comments