Oslo, Norwegia, menjadi saksi kiprah seorang dosen muda asal Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Namanya Satria Unggul Wicaksana Prakasa, yang berhasil mengukir prestasi membanggakan di forum akademik dunia.
Dari 4.000 pelamar yang mengajukan diri, dia berhasil menjadi satu dari hanya 25 peserta terpilih untuk mengikuti Intensive Course on Human Rights yang digelar oleh Norwegian Center of Human Rights (NCHR), Fakultas Hukum Universitas Oslo, pada 30 Agustus hingga 7 September 2025.
Kesempatan ini bukan hal biasa. Seleksi ketat berlangsung panjang dan penuh persaingan. Para kandidat diwajibkan menulis paper, menunjukkan rekam jejak akademik dan profesional di bidang hukum serta hak asasi manusia (HAM), dan membuktikan komitmennya terhadap isu-isu kemanusiaan.
“Butuh delapan bulan dari tahap awal hingga benar-benar berangkat, termasuk pengurusan visa. Jadi ini betul-betul perjalanan yang panjang, tapi sekaligus pengalaman yang sangat berharga,” ujar Satria kepada PWMU.CO, Jumat (5/9/2025) malam.
Kursus ini dikenal sebagai salah satu forum paling bergengsi di dunia untuk membicarakan perkembangan HAM dalam perspektif hukum internasional.
Didukung oleh Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD), agenda ini mempertemukan akademisi, praktisi hukum, dan aktivis dari berbagai negara.
Pesertanya datang dari beragam latar belakang: Asia, Afrika, hingga Amerika Latin, menciptakan suasana kelas yang kaya akan perspektif dan pengalaman.
Dalam forum itu, Satria mendapat kesempatan memaparkan materinya yang berjudul International Law Nutshell: Relations with International Human Right Law and Protection of Civil, Political, Economic, Social, and Cultural Rights and its Development.
Dia menguraikan bagaimana hukum internasional berinteraksi dengan hukum regional dan nasional, sekaligus implikasinya terhadap perlindungan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Namun yang membuat kursus ini istimewa adalah keberanian untuk menyinggung isu-isu mutakhir yang tengah mengubah wajah dunia.
Diskusi tentang perubahan iklim (climate change) dan artificial intelligence (AI) dikaitkan dengan persoalan HAM, menghadirkan wacana baru bahwa hak asasi manusia tidak hanya bicara tentang kebebasan sipil atau politik, tetapi juga tentang masa depan peradaban.
“Bayangkan, kita duduk bersama orang-orang dari berbagai belahan dunia. Dari Afrika yang menghadapi problem migrasi, Asia yang tengah berjuang dengan isu kebebasan sipil, hingga Amerika Latin yang banyak bicara soal demokrasi dan kesenjangan. Semua membawa cerita dan perspektif masing-masing. Itu membuat diskusi sangat hidup,” kata Satria.
***

Di ruang kelas NCHR, para peserta tidak hanya mendengar kuliah dari profesor-profesor hukum internasional, tetapi juga terlibat dalam debat, presentasi, dan simulasi kasus.
Bagi Satria, pengalaman ini membuka cakrawala baru: bagaimana sebuah isu global bisa dimaknai secara berbeda tergantung konteks regional dan sejarah masing-masing negara.
Partisipasi dalam kursus internasional ini, menurut Satria, sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Dia menilai, situasi HAM di Tanah Air sedang berada dalam fase yang menantang, dengan berbagai persoalan mulai dari kebebasan sipil, penegakan hukum, hingga dampak perubahan iklim yang dirasakan masyarakat kecil.
“Isu human rights harus jadi concern bersama. Kondisinya cukup berat, sehingga kita perlu terus memperkuat kapasitas akademik dan advokasi,” ujarnya.
Pengalaman di Oslo menjadi semacam “recharge” bagi Satria. Dia pulang dengan energi baru untuk mengajarkan, meneliti, dan mendorong isu HAM agar lebih mendapat perhatian di lingkungan akademik maupun publik.
Lebih dari itu, keterlibatan dosen UM Surabaya dalam kursus ini membuka pintu kolaborasi dengan universitas dan lembaga internasional. Satria menuturkan bahwa sudah ada pembicaraan awal dengan pihak Universitas Oslo untuk menginisiasi riset kolaborasi dan program pemantauan HAM bersama.
“Ini bukan hanya sekadar kursus yang selesai begitu saja. Ini adalah entry point bagi UM Surabaya untuk lebih aktif dalam percakapan global,” jelasnya.
Jejaring ini, lanjutnya, sangat penting untuk memperluas cakrawala mahasiswa dan dosen di Indonesia. Melalui kolaborasi internasional, isu-isu yang sebelumnya hanya menjadi wacana lokal bisa diangkat ke panggung dunia, sekaligus memperkaya metode pembelajaran dan penelitian di kampus.
Kehadiran Satria di panggung global membuktikan bahwa akademisi Indonesia mampu bersuara dalam forum internasional. Dari sebuah kampus Muhammadiyah di Surabaya, suaranya kini bergema bersama para pemikir dunia, membicarakan masa depan HAM dalam menghadapi tantangan global.
“Pengalaman ini bukan hanya milik saya pribadi, tetapi juga untuk UM Surabaya dan Indonesia. Harapannya, apa yang saya dapatkan bisa dibagikan kembali, menjadi inspirasi, dan menguatkan posisi kita dalam percaturan akademik global,” pungkasnya. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments