Search
Menu
Mode Gelap

Rakyat yang Terhormat

Rakyat yang Terhormat
Zainal Arifin Emka. Foto: Dok/Pri
Oleh : Zainal Arifin Emka Wartawan Senior, Pengajar Jurnalistik
pwmu.co -

Aksi seruan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, serta merta mendapat respons. Wakil Ketua DPR RI, Ahmad Syahroni menyatakan, masyarakat boleh mengkritik dan mencaci maki, tetapi ada adab dalam menyampaikan aspirasi.

Menurut dia, yang berbicara seperti itu rata-rata mereka yang tidak pernah duduk di DPR. “Catat nih, orang yang cuma mental bilang ‘bubarin DPR’, itu adalah orang to**l se-dunia,” tegas Syahroni.

Jangan dimasukkan hati ya. Syahroni minta pengritik menggunakan adab, pada saat bersamaan ia menyebut pengkritiknya to**l se-dunia. Dia menegaskan, DPR masih berdiri sampai kapan pun, tidak akan berubah.

Ya sudahlah!

Dia mungkin benar: DPR masih berdiri sampai kapan pun. Namun yang jelas sejarah mencatat DPR pernah dan hampir dibubarkan oleh dua presiden. Tindakan dan rencana pembubaran DPR terjadi melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan berikutnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001.

Siapa presiden yang pernah dan hampir membubarkan DPR?

Dilansir dari Kompaspedia, Jumat (22/3/2024), Soekarno dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah dua presiden yang pernah dan hampir membubarkan DPR sepanjang sejarah Indonesia.

Seharusnya orang yang tidak terlalu to**l bisa memahami bahwa di balik tuntutan pembubaran DPR, ada pesan kekecewaan sekaligus harapan besar para wakil rakyat Yang Terhormat ini untuk berubah menjadi lebih baik dan bertanggung jawab.

Rakyat sesungguhnya sedang menyampaikan sinyal kekecewaannya terhadap wakil-wakil di legislatif. Mereka bukan hanya marah, melainkan juga frustrasi yang mendalam. Maka menyerang balik dengan kata-kata kasar hanya memperlihatkan betapa rapuhnya komunikasi antara rakyat dan wakilnya.

Simbolis

Mengapa rakyat seolah menyesal telah memberikan sebutan “Wakil Rakyat Yang Terhormat”. Lagi pula siapa yang memberikan sebutan terhormat itu?

Begini. Kalau Anda beruntung, maka begitu duduk di kursi Senayan, di depan nama Anda otomatis akan muncul embel-embel “Yang Terhormat”. Sebutan untuk wakil rakyat. Ini sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap jabatan dan peran mereka dalam masyarakat.

Wakil rakyat dipilih oleh masyarakat untuk mewakili kepentingan dan aspirasi mereka. Sebutan “Yang Terhormat” menunjukkan penghargaan terhadap peran penting ini.
Wakil rakyat diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk membuat keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Sebutan ini menunjukkan keseriusan dan tanggung jawab dalam menjalankan amanah.

Mengapa sebutan itu tidak memengaruhi perilaku atau membuat mereka berlaku terhormat? Jawabnya: Karena sebutan “Yang Terhormat” memang tidak otomatis memengaruhi perilaku atau membuat seseorang berlaku terhormat.

Perilaku dan sikap seseorang lebih dipengaruhi oleh karakter dan nilai-nilai pribadi daripada sebutan yang diberikan. Tambahan pula, motivasi dan tujuan seseorang dalam menjalankan peran juga memengaruhi perilaku. Sebutan seperti itu juga digunakan di berbagai negara lain, kok.

Di Amerika Serikat, anggota Kongres sering disebut sebagai “The Honorable” Yang Terhormat, – diikuti dengan nama mereka. Demikian juga di India untuk anggota Parlemen .

Namun berbeda dengan tokek yang kalau disebut dan berteriak tokek memang benar-benar tokek, maka sebutan Yang Terhormat untuk wakil rakyat memang bukanlah merupakan cerminan.

Sebutan kehormatan “Yang Terhormat” adalah kerangka normatif dan simbolis yang dirancang untuk membentuk perilaku dan penghormatan. Namun, ia bukanlah jaminan otomatis.

Apakah sebutan itu efektif? Sepenuhnya bergantung pada kualitas karakter individunya. Karena itu diperlukan kekuatan sistem pengawasan, checks and balances, dan penegakan hukum. Kesadaran dan partisipasi publik juga diperlukan untuk mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban.

Pengawasan dan keseimbangan akan efektif jika didukung oleh sistem yang kuat untuk memaksa pertanggungjawaban. Jika tidak ada konsekuensi bagi yang menyalahi jabatan, maka sebutan menjadi kosong.

Jadi, diperlukan syarat mendasar bagi posisi yang sesuai dengan sebutan “Yang Terhormat” itu. Salah duanya integritas dan tanggung jawab. Memiliki integritas yang tinggi artinya memiliki prinsip dan nilai-nilai yang kuat, serta bertindak sesuai dengan kode etik dan hukum.

Memiliki rasa tanggung jawab artinya mampu menjalankan tugas dan wewenang dengan penuh kesadaran dan keseriusan. Mudah diterka, ini berhubungan dengan kompetensi dan kapabilitas wakil rakyat.

Kompetensi itu diperlukan untuk menjalankan tugas dan wewenang. Artinya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang memadai. Sedang memiliki kapabilitas untuk membuat keputusan yang tepat dan bijak.

Anda boleh menambahkan perilaku yang profesional sebagai syarat lain. Tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau golongan.

Iklan Landscape UM SURABAYA

Bukan Sihir

Pemberian sebutan “Yang Terhormat” untuk wakil rakyat bukanlah sekadar formalitas atau basa-basi. Sebutan-sebutan ini memiliki fungsi yang sangat penting dalam struktur sosial dan hukum sebuah negara, terutama yang menganut sistem demokrasi dan negara hukum.

Sebutan ini bukan untuk individunya secara pribadi, melainkan untuk “jabatan” yang mereka sandang. Anggota dewan (DPR/DPRD) adalah representasi rakyat. Sebutan “Yang Terhormat” mengingatkan semua orang, termasuk penyandang gelar, bahwa posisi mereka adalah amanah rakyat.

Sebutan formal seperti itu menciptakan jarak yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tanpa dipengaruhi emosi atau hubungan pribadi. Jadi ketika Anda memanggil “Yang Terhormat”, Anda berinteraksi dengan institusi parlemen, bukan dengan orangnya (Bapak/Ibu Anu).

Di Parlemen, sebutan “Yang Terhormat” digunakan bahkan ketika terjadi perdebatan sengit. Ini adalah bentuk etiket yang memungkinkan para wakil rakyat yang berbeda pendapat untuk berdebat secara keras tentang kebijakan, tanpa harus menyerang pribadi lawannya. Ini melindungi proses demokrasi dari disintegrasi menjadi perkelahian personal.

Tentu saja, selalu ada kritik, berargumen bahwa sebutan ini menjadi “kosong” dan ironis jika pemegang jabatan ternyata korupsi, tidak adil, atau tidak mencerminkan kehormatan sama sekali. Dalam konteks ini, sebutan tak lebih dari topeng atau formalitas tak bermakna.

Memang, ada jurang pemisah yang sering kita lihat antara sebutan yang terhormat dan tindakan tidak terpuji pemegang jabatan. Hal ini terjadi karena sebutan kehormatan pada dasarnya adalah sebuah alat dan simbol, bukan “sihir yang mengubah karakter”.

Petunjuk Arah

Mohon dipahami, mengapa sebutan tidak otomatis menjamin perilaku.
Sebutan untuk jabatan, bukan untuk karakter pribadi. Ini adalah poin paling fundamental. Gelar “Yang Terhormat” diberikan kepada jabatan, bukan kepada individu yang mendudukinya. Sistem ini berasumsi bahwa dengan menduduki jabatan yang terhormat, seseorang akan berusaha menjalankannya dengan terhormat.

Sebutan terhormat adalah bagian dari norma sosial dan hukum eksternal. Ia diciptakan oleh sistem untuk membingkai bagaimana orang lain harus memperlakukan jabatan tersebut. Namun, bagaimana seseorang bertindak berasal dari nilai-nilai internal, moralitas, dan integritas pribadinya.

Seorang yang korup mungkin menyukai gelar “Yang Terhormat” karena memberi dia status dan kekuasaan, tapi nilai-nilai internalnya seperti keserakahan, egois yang jauh lebih kuatlah yang akhirnya mendikte perilakunya. Gelar itu tidak bisa “mencuci” atau mengubah nilai-nilai buruk yang sudah mengakar dalam dirinya.

Memang, dalam beberapa konteks budaya, gelar dan status sering dilihat sebagai tujuan akhir, bukan sebagai amanah untuk berbuat baik. Yang dikejar adalah gengsi dan penghormatan, bukan tanggung jawab untuk melayani. Ketika mentalitas seperti ini yang dominan, sebutan kehormatan hanya akan menjadi ornamen yang memperindah kedudukan, bukan pengingat untuk bertindak mulia.

Namun meski tidak menjamin, sebutan itu tetap penting atau sangat penting. Sebutan itu terus-menerus mengingatkan si pemegang jabatan dan masyarakat tentang standar ideal yang seharusnya dicapai. Ia menjadi ukuran untuk mengevaluasi, “Seharusnya dia berperilaku seperti ini, kok nyatanya tidak?!?”

Sebutan itu juga bisa menjadi alat untuk meminta pertanggungjawaban. Ketika seorang “Yang Terhormat” bertindak tidak terpuji, masyarakat dan media bisa menggunakan kontradiksi ini untuk menuntut pertanggungjawaban. Kalimat seperti, “Anda menyandang gelar Yang Terhormat, tapi tindakan Anda tidak mencerminkan itu!” adalah alat kritik yang joss.

Jadi, sebutan itu merupakan pagar dan petunjuk arah. Tetapi apakah seseorang memilih untuk berjalan di dalam pagar dan mengikuti arah, tergantung pada pribadi dan sistem pengawasan yang memaksa mereka untuk patuh.

Protes

Jadi, sebutan “Yang Terhormat” itu tetap perlu. Setidaknya begitulah menurut bagai Arteria Dahlan. Politisi PDIP itu protes kepada pimpinan KPK karena tak disapa dengan sebutan ‘Anggota Dewan Yang Terhormat’ .

Saya kutip dari Tribunnews.com, Selasa, 12 September 2017: anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP, Arteria Dahlan menyampaikan protesnya saat rapat dengar pendapat dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Arteria Dahlan kesal dan merasa tidak dihormati, lantaran tidak dipanggil sebagai ‘dewan terhormat’. Arteria mengaku tidak pernah mendengar lima pimpinan KPK mengucapkan salam hormat kepada anggota DPR.

“Pak Jokowi ketemu kami dia katakan yang terhormat. Pak Kapolri juga mengatakan yang Mulia. Saya menunggu tadi dari lima komisioner tidak pernah terucap anggota dewan yang terhormat,” kata Arteria dengan nada tinggi di Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

“Baru kali ini saya tidak pernah mendengar kata Yang Terhormat atau Yang Mulia untuk Anggota DPR,” katanya.

Jadi, wahai rakyat terhormat, sebutan “Yang Terhormat” bagi wakil rakyat itu masih perlu, lo. Setidaknya bagi Yang Terhormat Arteria Dahlan. (*)

Iklan Landscape Mim6tebluru

0 Tanggapan

Empty Comments