Rabu (27/8/2025), suasana kelas V SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik mulai dari kelas Alpen, Rocky, Andes, dan Everest berubah total. Bukan lagi tempat papan tulis dan buku soal, ruangan itu disulap menjadi sebuah kafe imajinasi. Terdengar tawa, bisikan antusias, dan keseriusan para “customer” dan “waitress” kecil menentukan pesanan.
Guru matematika Ria Pusvita Sari tidak membawa buku pelajaran seperti biasanya. Ia datang hanya dengan satu keyakinan: pembelajaran terbaik tidak selalu berasal dari buku, tetapi dari bermain, merasakan, dan menjalani.
“Ustadzah, boleh saya bawa pulang buku menunya? Nanti saya mau bermain bersama adik saya di rumah,” tanya seorang murid dengan penuh semangat.
Bagi Ria, itu bukan sekadar perkataan lucu. Tanda itu menunjukkan anak-anak tertarik, terlibat, dan benar-benar ingin melanjutkan belajar di luar sekolah. Murid yang biasanya grogi tampil percaya diri. Mereka yang takut salah menghitung kini berani mengatakan, “Saya bayar Rp100.000, dan kembalian saya Rp3.500!” dengan senyum lebar.
Metode bermain peran (role play) ini mengangkat konsep operasi hitung uang. Mereka berada di “Kafe 5 Puncak”, sebuah ruang mini dengan meja kecil, buku menu bergambar, uang mainan untuk transaksi, dan semangat belajar tanpa batas.
Saat berperan menjadi customer, anak-anak tidak hanya memilih es coklat atau donat. Mereka berhitung dalam hati, di kertas, bahkan dengan jari. Mereka menjumlahkan dan mengurangkan bilangan ratusan hingga ribuan secara mental, sekaligus memahami konsep kembalian secara utuh.

Selain itu, mereka juga belajar mengelola anggaran. “Aku cuma punya Rp50.000, apa bisa beli makanan dan minuman sekaligus?” tanya salah seorang murid. Pertanyaan seperti ini mengajarkan bahwa angka bukan sekadar simbol kering, melainkan alat untuk membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
Suasana nyata ini menggantikan soal abstrak seperti “Berapa hasil dari 80.500 + 35.200?”. Pertanyaannya berubah menjadi, “Kalau saya pesan cokelat panas Rp16.000 dan sandwich Rp14.200, berapa totalnya? Kalau saya bayar dengan dua lembar Rp20.000, berapa kembaliannya?”
Diskusi kecil pun terjadi. Siswa saling membantu dan mengoreksi. Seorang murid yang berperan sebagai waitress menyadari kesalahan: “Tunggu, saya sudah kembalikan Rp1.200, tapi totalnya cuma Rp1.000. Berarti saya kelebihan!” Ia segera memperbaiki, dan momen itu menjadi pelajaran tentang koreksi diri dan akuntabilitas.
Menurut Ria, metode ini terbukti meningkatkan pemahaman konsep matematika, kemampuan komunikasi, kerja sama, toleransi, serta motivasi intrinsik belajar. Anak-anak juga lebih mudah mengingat materi karena mereka mengalami langsung, bukan hanya mendengar penjelasan.
Ketika pelajaran selesai, sebagian murid ingin membawa buku menu pulang. Ada pula yang berencana membuat kafe sendiri di rumah. “Melihat mereka tersenyum sambil menghitung uang, itu kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan nilai ujian,” kata Ria.
Ia menambahkan, pembelajaran tidak boleh berhenti pada angka dan rumus. “Kelas hari itu bukan sekadar belajar operasi hitung, tapi menciptakan kebiasaan hidup: berpikir kritis, bertanggung jawab, berkomunikasi percaya diri, dan memahami makna uang dalam kehidupan nyata.”
Bagi Ria, matematika bukan pelajaran kaku. “Ini adalah kisah anak-anak bermain, jatuh, bangun, dan menang dengan senyuman. Catatan ini bukan hanya tentang matematika, tapi tentang membentuk generasi yang cerdas, cakap, dan berhati,” ujarnya. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments