Burnout bukan lagi istilah asing di kalangan mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di luar negeri, khususnya di Jepang. Untuk menjawab tantangan ini, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya (FK UM Surabaya) menggelar kegiatan Pengabdian Masyarakat bertajuk “Burnout 101: Smart, Science-Based Ways to Beat Burnout for Indonesian Students in Japan” pada Jumat (26/9/2025) di Kuta Bali Cafe, Harajuku, Shibuya.
Acara ini dihadiri oleh sekitar 20 mahasiswa Indonesia dan menghadirkan pembicara utama dr Era Catur Prasetya SpKJ, spesialis kejiwaan, serta Azaria Haykal Ahmad, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tokyo Daigaku.
Realita Berat di Balik Mimpi Kuliah di Jepang
“Awalnya terasa seperti mimpi – kuliah di Jepang, dapat beasiswa, tinggal di negara yang kita kagumi. Tapi setelah beberapa bulan, beban mulai terasa,” ujar Azaria.
Ia menyoroti tekanan akademik, adaptasi budaya, hingga kesulitan dalam kehidupan sehari-hari sebagai faktor pemicu burnout.
Fenomena ini, menurut dr Era, memiliki karakteristik yang unik. Burnout bukan sekadar kelelahan biasa, tapi merupakan kondisi psikologis serius yang ditandai oleh kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan rasa pencapaian diri.
“Mahasiswa internasional, khususnya dari Indonesia, menghadapi tantangan yang lebih kompleks karena adanya culture shock, perbedaan bahasa, tekanan akademik, dan ekspektasi tinggi dari keluarga,” jelasnya.
Pendekatan Ilmiah untuk Mengatasi Burnout
Berbeda dari seminar motivasi biasa, acara ini mengedepankan pendekatan berbasis sains. Dr. Era memperkenalkan Burnout Prevention Protocol, sebuah strategi yang telah divalidasi secara klinis, meliputi:
- Cognitive Behavioral Techniques (CBT): Mengubah pola pikir negatif yang memicu stres.
- Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR): Teknik pernapasan dan kesadaran diri untuk meredam hormon stres.
- Social Support Network Building: Membangun jaringan sosial sebagai media berbagi dan dukungan emosional.
Selain itu, Azaria juga berbagi kisah pribadinya yang hampir menyerah di tengah tekanan kuliah, pekerjaan paruh waktu, dan aktivitas organisasi. Ia menekankan pentingnya manajemen waktu, keberanian berkata “tidak”, serta mencari bantuan profesional saat dibutuhkan.
Faktor Tambahan: Nutrisi dan Pola Tidur
Salah satu temuan menarik yang dibahas adalah kaitan antara pola makan dan burnout. Dr. Era menjelaskan bahwa kekurangan vitamin D dan B12 – yang umum dialami mahasiswa Indonesia di Jepang akibat perubahan pola makan – dapat memperparah gejala burnout hingga 40%.
“Banyak mahasiswa yang akhirnya makan makanan instan terus-menerus karena keterbatasan waktu dan biaya. Padahal nutrisi ini sangat penting bagi kesehatan otak dan regulasi suasana hati,” ujarnya.
Dokter Era juga memberikan rekomendasi suplemen dan tips memasak sederhana yang praktis bagi mahasiswa di asrama.
Respons Antusias dan Rencana Tindak Lanjut
Sesi tanya jawab berlangsung interaktif dengan berbagai pertanyaan dari peserta seputar tanda-tanda burnout, cara membedakan stres biasa dengan kondisi serius, hingga bagaimana mengkomunikasikan isu kesehatan mental kepada keluarga di Indonesia.
Menanggapi tingginya minat, Azaria mengumumkan pembentukan Mental Health Support Group bagi mahasiswa Indonesia di Tokyo. Kelompok ini akan menjadi wadah rutin untuk diskusi dan saling mendukung secara preventif.
Sementara itu, Fakultas Kedokteran Ubaya berencana menggelar rangkaian webinar lanjutan terkait kesehatan mental pelajar Indonesia di luar negeri.
Acara ini mendapat apresiasi dari peserta karena membahas isu mental health secara serius, namun tetap ringan dan tidak menghakimi. Salah satu mahasiswa dari Universitas Osaka mengatakan, selama ini saya merasa sendirian menghadapi tekanan kuliah di Jepang. Forum seperti ini sangat membantu.
“Burnout bukan tanda kelemahan, tapi sinyal dari tubuh dan pikiran kita bahwa ada yang perlu diubah. Tujuannya bukan menghindari stres sepenuhnya, tapi membangun resiliensi dan strategi coping yang sehat,” pesan Dokter Era. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments